Healthy REEFs abundant FISH

Generate Your Own Glitter Graphics @ GlitterYourWay.com - Image hosted by ImageShack.us

Kamis, Januari 22, 2009

Kawasan Konservasi Perairan (memahami makna untuk mengelola)

Apakah Kawasan Konservasi Perairan itu?

Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Kawasan konservasi perairan merupakan bagian dari upaya pengelolaan atau konservasi
ekosistem. Berdasarkan tipe ekosistem yang dimiliki, kawasan konservasi perairan dapat meliputi: kawasan konservasi perairan tawar, perairan payau atau perairan laut. Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai KKL. KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).

Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan sumber daya ikan pada waktu sekarang dan yang akan datang.

lebih lanjut mengenai KKP, silahkan klik disini untuk memperoleh brosur/leaflet

Status of Coral Reefs of the World: 2008

http://www.icriforum.org/gcrmn/gcrmn2008.html

This Status of Coral Reefs of the World: 2008 report is the 5th global report since the GCRMN (Global Coral Reef Monitoring Network), was formed in 1996 as an operational network of the International Coral Reef Initiative (ICRI). The catalyst for GCRMN was the inability of international agencies to report objectively on the health or otherwise of the world’s coral reefs. The US government then provided initial funding to set up a global network of coral reef workers to facilitate reporting on reef status; and has continued to be the major supporter of GCRMN and ICRI since the first strategies and action plans were developed in 1995. Each report (1998, 2000, 2002 and 2004) has aimed to present the current status of the world’s coral reefs, the threats to the reefs, and the initiatives being undertaken under the umbrella of ICRI to arrest the decline in the world’s coral reefs. These reports have been produced using the data and information from many coral reef experts around the world. For example 372 experts from 96 countries have contributed to this Status report. Many regional, national and local organisations, governmental, academic, NGO and volunteers have supported the functions of GCRMN. The united goal is to inform the global community on the status of coral reefs, the threats to them and, importantly, to list recommendations to improve coral reef conservation. There is widespread recognition that action is needed urgently, not only to conserve the enormous biodiversity on coral reefs, but also to assist local user communities to improve their livelihoods by ensuring the sustainable use of the reefs.

Full Report (20 MB) and others ... please click here

Senin, Januari 19, 2009

Seperlima Terumbu Karang Dunia Mati

http://www.gatra.com/artikel.php?id=120990
Dampak Rumah Kaca
Seperlima Terumbu Karang Dunia Mati

Poznan, 11 Desember 2008 13:58
Dunia telah kehilangan hampir 20 persen terumbu karangnya akibat buangan karbondioksida. Demikian laporan yang disiarkan di Poznan, Polandia, Rabu.

Laporan yang disiarkan Global Coral Reef Monitoring Network di Poznan itu, berusaha memberi tekanan atas peserta pembicaraan PBB mengenai iklim di Poznan, Polandia, agar membuat kemajuan dalam memerangi kenaikan temperatur.

"Jika kecenderungan buangan karbon dioksida saat ini berlangsung terus, banyak terumbu karang mungkin akan hilang dalam waktu 20 sampai 40 tahun mendatang, dan ini akan memiliki konsekuensi berbahaya bagi sebanyak 500 juta orang yang bergantung atas terumbu karang untuk memperoleh nafkah mereka," kata laporan tersebut.

"Jika tak ada perubahan, kita akan menyaksikan berlipatnya karbon dioksida di atmosfir dalam waktu kurang dari 50 tahun," kata Carl Gustaf Lundin, pemimpin program kelautan global di International Union for Conservation of Nature, salah satu organisasi di belakang Global Coral Reef Monitoring Network.

"Karena karbon ini diserap, samudra akan menjadi lebih asam, yang secara serius merusak sangat banyak biota laut dari terumbu karang hingga kumpulan plankton dan dari udang besar hingga rumput laut," katanya.

Saat ini, perubahan iklim dipandang sebagai ancaman terbesar bagi terumbu karang. Ancaman utama iklim, seperti naiknya temperatur permukaan air laut dan tingkatan keasaman air laut, bertambah besar oleh ancaman lain termasuk pengkapan ikan secara berlebihan, polusi dan spesies pendatang.

Laporan tersebut, dengan membesarkan hati, menyatakan 45 persen terumbu karang saat ini berada dalam kondisi sehat. Tanda harapan lain ialah kemampuan sebagian terumbu karang untuk pulih setelah peristiwa besar "bleaching" akibat air yang menghangat, dan menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.

"Laporan itu merinci konsensus kuat ilmiah bahwa perubahan iklim harus dibatasi pada tingkat minimum absolut," kata Clive Wilkinson, Koordinator Global Coral Reef Monitoring Network.

Laporan tersebut juga menyatakan terumbu karang memiliki peluang lebih tinggi untuk bertahan hidup pada saat perubahan iklim terjadi, jika faktor tekanan lain yang berkaitan dengan kegiatan manusia diperkecil. [TMA, Ant]

Senin, Januari 12, 2009

Tiga Bulan Cuaca Buruk, Nelayan Lampung Merugi

sumber:http://republika.co.id/koran/0/25534.html
Senin, 12 Januari 2009 pukul 10:06:00
Tiga Bulan Cuaca Buruk, Nelayan Lampung Merugi


BANDAR LAMPUNG -- Selama tiga bulan terakhir, kondisi hidup nelayan di Lempasing, Lampung, semakin tidak menentu. Cuaca buruk, sejak Oktober tahun lalu hingga kini, membuat nelayan Lempasing yang menjaring ikan di perairan Lampung terus merugi hingga 50 persen dari hasil tangkapan ikan dibandingkan saat cuaca normal.

"Sudah tiga bulan ini, kami tidak melaut lagi. Cuaca sangat tidak menentu, nelayan khawatir kalau memaksakan diri melaut," kata Supriyanto (48 tahun), nelayan di Lempasing, kawasan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Lempasing, Bandar Lampung, Sabtu (10/1).

Berdasarkan pemantauan di kawasan Teluk Lampung, puluhan kapal nelayan bersandar tidak melaut setiap harinya. Lego jangkar kapal nelayan ini sudah menjadi pemandangan umum warga yang berkunjung ke PPI Lempasing sejak tiga bulan silam. Ratusan nelayan yang tidak lagi melaut terpaksa mencari penghasilan dengan menjadi kuli harian lepas di berbagai bangunan.

Menurut Supriyanto, sekali melaut, dirinya dengan anak buah kapal 10 orang menghabiskan biaya operasional berkisar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta setiap malamnya. Pada hari biasa dengan cuaca normal, ia mampu menangkap ikan dengan pendapatan mencapai Rp 2 juta. "Sekarang, kalau melaut dengan modal Rp 1 juta, kita hanya dapat penghasilan Rp 1 juta juga. Jadi, kami merugi sekitar 50 persen," ungkapnya.

Kondisi seperti ini pernah dialami nelayan pada awal tahun 2008 silam. Menurut data di Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung, potensi kehilangan pendapatan nelayan di Lampung rata-rata Rp 50 miliar per hari jika mereka tidak melaut. Hitung-hitungan ini didapat dari hasil tangkapan nelayan per hari yang rata-rata 367,94 ton dengan harga rata-rata Rp 20 ribu per kilogram.

Dinas tersebut mencatat, produksi tangkapan laut nelayan di Lampung sebesar 134,5 ribu ton per tahun. Ini termasuk tangkapan bagan. Sedangkan, hasil tangkapan perairan umum nonlaut sebesar 11,3 ribu ton per tahun.Nelayan Lempasing dan juga nelayan Ujung Bom, Teluk Betung, mengaku bahwa cuaca buruk kali ini, selain hujan lebat, juga disertai angin kencang. Akibatnya, gelombang laut menjadi tinggi dan dapat mengempaskan kapal nelayan. Kondisi buruk ini sering dialami nelayan di perairan Teluk Lampung, Selat Sunda, Labuhan Maringga, dan Kalianda.

Meski masih ada beberapa nelayan yang nekat melaut karena didesak kebutuhan rumah tangga, para nelayan tersebut tidak mau menembus laut lepas. Akibatnya, hasil tangkapan ikan mereka tidak sebanding ketika mereka menangkap ikan di laut lepas. "Paling dapat ikan dua atau tiga ton saja. Padahal, biasanya sampai delapan ton," tutur Supriyanto.
Sedikitnya nelayan yang melaut membuat pasokan ikan laut di sejumlah pasar-pasar tradisional di Bandar Lampung menjadi berkurang. Imbasnya, harga ikan pun melambung tinggi. n mur

50% ANGGARAN DKP TAHUN 2009 DI DAERAH

sumber: siaran Pers DKP
No. 05/PDSI/I/2009

50% ANGGARAN DKP TAHUN 2009 DI DAERAH

Sekarang ini banyak Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang mengalir ke daerah, sehingga perangkat daerah dituntut sungguh-sungguh melaksanakan dan menggunakan anggaran tersebut secara efisien, efektif dan tidak terjadi pemborosan. Sedangkan untuk aparatur pengawasan, diintruksikan untuk melakukan inspeksi yang ketat dan seksama. Demikian diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2009 di Ruang Mina Bahari I, Gedung Departemen Kelautan dan Perikanan, Jl. Medan Merdeka Timur No.16, Jakarta Pusat (7/1). Dari total anggaran Rp 3,4 triliun, sekitar 50% diperuntukkan bagi kegiatan di daerah.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan, bahwa tahun anggaran 2009 merupakan awal pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja secara penuh (full scale). Lebih lanjut Menteri menegaskan kepada eselon I untuk memahami dan mempersiapkan beberapa hal, terkait dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran tahun 2009. Pertama, tahun ini agar dijadikan momentum untuk optimal dalam menyiapkan pelaksanaan lelang pengadaan barang dan jasa, sesuai dengan Peraturan Presiden No.8 Tahun 2006 tentang perubahan keempat atas Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 pasal 9 ayat 6, bahwa pelaksanaan pelelangan dapat dilaksanakan sedini mungkin sebelum DIPA terbit sepanjang tidak melakukan kontrak perjanjian. Dengan demikian maka pelaksanaan tugas dapat langsung operasional tanpa penundaan. Kedua, setiap unit Eselon I dapat menyelesaikan penyajian leporan keuangan secara lebih transparan dan akuntabel, sehingga dapat mengeliminir Disclaimer. Ketiga, dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran, agar lebih memperhatikan unsur kehati-hatian, terutama terkait dengan alokasi belanja modal yang cukup besar. Hal tersebut dapat dilaksanakan melalui pelaksanaan yang cermat dan teliti pada setiap tahap pengadaan. Keempat, para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), harus lebih menguasai substansi setiap kegiatan yang ada di masing-masing Satuan Kerja (Satker). Kelima, pelaksanaan kegiatan di setiap Satker lebih memperhatikan faktor akuntabilitas dalam melaksanakan fungsi Eselon I, serta lebih berkonsentasi pada outcome.

Dalam lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), telah diserahkan 390 DIPA terdiri dari 56 DIPA untuk Satker Pusat dan 334 DIPA untuk Tugas Perbantuan (TP). Sedangkan penyerahan DIPA Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan dekonsentrasi di daerah, dilaksanakan oleh gubernur kepada pejabat UPT dan kepala dinas masing-masing.

Untuk realisasi pada tahun anggaran 2008, dari alokasi Rp 3,01 triliun telah terealisasi sebesar Rp 2,29 triliun (75,99%). Untuk tahun anggaran 2009, APBN di DKP adalah sebesar Rp 3,4 triliun, terdiri dari: Anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 1,7 triliun, Anggaran Belanja untuk UPT sebesar Rp 815,1 milyar, Tugas Perbantuan sebesar Rp 413,5 milyar dan dekonsentasi sebesar Rp 472 milyar.

Sedangkan dari total Anggaran Belanja tersebut dialokasikan pada Belanja Pegawai sebesar Rp 352,4 milyar, Belanja Barang sebesar Rp 1,970 triliun, Belanja Modal sebesar Rp 1,060 triliun, dan bantuan Sosial sebesar Rp 63,5 milyar. Untuk penyusunan RKA-KL (Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian Lembaga) dan DIPA tahun 2009 sebagai penjabaran RKP (Rencana Kegiatan Pemerintah) Tahun 2009 dilaksanakan berdasarkan pagu definitif yang ditetapkan berdasarkan UU No.41 Tahun 2008 tentang APBN tahun 2009.

Anggaran yang diperoleh DKP tersebut banyak pihak yang menganggap terlalu kecil. Beberapa alasan yang mendasari penilaian tersebut, diantaranya adalah, Pertama, dalam sektor kelautan dan perikanan, banyak aspek yang selama ini tidak tersentuh, misalnya pulau-pulau terpencil, infrastruktur pesisir dan lain-lain. Kedua, proporsi masyarakat miskin, apabila dilihat dari faktor-faktor yang terdapat pada nilai Development Index, kebanyakan pada masyarakat pesisir. Hal ini bisa dimaklumi, karena banyak akses transportasi, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang kurang memadai. Ketiga, biaya operasional kegiatan di laut dan pesisir beserta biaya modalnya jauh lebih mahal dari kegiatan yang sama dalam kondisi “lumrah” di darat. Bisa dibayangkan mahalnya biaya transportasi penduduk, dibanding didaerah kepulauan dengan di darat. Begitu pula pengawasan di tengah laut dengan di darat.

Oleh karenanya, filosofi pembiayaan pembangunan untuk kelautan dan perikanan hendaknya diutamakan atau diniatkan untuk penguatan guna kesejahteraan masyarakat, penguatan kedaulatan dan kelestarian. Walaupun benefit ekonomi juga bisa kita raih dari outcome hasil sumberdaya perairan.

Jakarta, Januari 2009

Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi

ttd

Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed.