Healthy REEFs abundant FISH

Generate Your Own Glitter Graphics @ GlitterYourWay.com - Image hosted by ImageShack.us

Selasa, Desember 30, 2008

Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia


Penulis: YAYA MULYANA dan AGUS DERMAWAN

Peluncuran Buku dilaksanakan di Penang Bistro, 30 Desember 2008. Oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan (Bp. M. SYAMSUL MAARIF). Ulasan dan pembahasan buku oleh Bp. Hajim Jalal dan Bp. Effendy A. Sumardja. Moderator: Rianny Djangkaru. Hadir pada acara tersebut keluarga besar Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Keluarga Besar COREMAP II, Sesditjen KP3K, Dit. Kelautan dan Perikanan Bappenas, Para Direktur Lingkup KP3K, Ditjen terkait lingkup DKP, Ditjen PHKA Dephut, Wartawan Media Cetak dan Elektronik serta para undangan lainnya.

Sekapur Sirih Penulis

Konservasi kawasan perairan merupakan bagian dari upaya konservasi ekosistem yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Upaya ini memerlukan pendekatan pengelolaan yang lebih spesifik, antara lain, karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di lain pihak, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan wewenang urusan–urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan berkaitan erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat.

Makna konservasi sumberdaya ikan bukan saja perlindungan semata, namun secara seimbang melaksanakan upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan. Mengingat harapan pelestarian sumberdaya ikan terletak di jantung kawasan konservasi perairan, Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya melalui Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut sejauh ini telah melakukan pembinaan, sosialisasi dan bantuan teknis bagi lembaga/instansi/Dinas Kelautan dan Perikanan, baik kabupaten maupun provinsi, dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan di daerah. Di tengah perubahan selama satu dekade terakhir, terutama menyangkut otonomi daerah dan tuntutan partisipasi masyarakat yang lebih terbuka, upaya-upaya konservasi kawasan perairan tersebut telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Buku ini disusun untuk memberikan gambaran tentang upaya-upaya konservasi sumberdaya ikan yang telah dilakukan utamanya terkait tugas pokok dan fungsi Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Buku ini diawali dengan catatan kecil tentang bagaimana menjaga laut demi masa depan, bukan hanya untuk anakcucu, tetapi sekaligus menjaga kelangsungan hidup ekosistem dunia, dilanjutkan dengan untaian refleksi kisah konservasi kawasan perairan, memaknai aturan konservasi, upaya harmonisasi konservasi kawasan perairan dan jenis ikan beserta penatakelolaannya, hingga kepada perkembangan konservasi pada masa kini serta diakhiri dengan menatap masa depan konservasi perairan. Beragam upaya dalam mengembangkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik di tingkat ekosistem, jenis dan genetik, diharapkan fajar konservasi perairan menjadi makin benderang. Tidak saja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak generasi mendatang atas sumber daya ikan, tetapi juga untuk mencapai kejayaan dan kelestarian wilayah perairan Nusantara.

Membaca buku ini, kita seolah menjadi bagian dari perjalanan direktorat konservasi dan taman nasional laut dalam menggagas ide, menuangkan pemikiran dan mencurahkan dedikasi untuk menjawab tantangan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Akhirnya, Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya buku ini, tak lupa terimakasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung mulai dari proses pengumpulan materi, penulisan hingga terselesaikannya buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi pihak-phak yang membutuhkannya.

Pengantar Dirjen KP3K

Indonesia merupakan negara kaya dengan berlimpah potensi sumberdaya yang teramat bernilai. Hampir 75 % dari seluruh wilayah Indonesia merupakan perairan pesisir dan lautan. Indonesia adalah negeri kepulauan, negeri bahari dengan 2,7 juta kilometer persegi zona ekonomi eksklusif (ZEE). Perairan laut Indonesia teramat kaya dan beragam sumberdaya hayati. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-2 yang memiliki terumbu karang terluas di dunia setelah Australia. Indonesia juga merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies. The Coral Triangle tersebut meliputi enam negara yaitu Malaysia, Philipina, Timor Leste, Papua Nugini, Indonesia dan Solomon Islands. Posisi ini tentunya membuat terumbu karang Indonesia menjadi jauh lebih penting lagi, karena disamping menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia juga bagi dunia.

Konservasi memegang peranan penting dalam mengimbangi kegiatan ekploitatif maupun terdegradasinya sumberdaya sebagai akibat dari berbagai aktivitas manusia. Upaya konservasi, khususnya sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan. Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Akhir kata, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Kami sampaikan selamat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas terbitnya buku konservasi yang cukup memberi kesan tersendiri, semoga karya berharga ini mampu mengilhami dan memotivasi berbagai pihak dalam konservasi sumberdaya ikan untuk kesejahteraan generasi kini dan mendatang

BUKU KONSERVASI KAWASAN PERAIRAN INDONESIA BAGI MASA DEPAN DUNIA selengkapnya silahkan KLIK DISINI

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?

Berikut artikel dimuat di KORAN TEMPO, 27 des 2008.Moga bermanfaat

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?
(Catatan Akhir Tahun 2008)
Oleh :
Arif Satria
Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB

Tahun 2008 banyak fenomena globalisasi perikanan mengemuka. Berlakunya EPA 1 Juli 2008 lalu membuat bea masuk 51 produk perikanan kita ke Jepang menjadi nol. Semula ini pertanda globalisasi kian menguat. Namun globalisasi perikanan juga ternyata bermasalah. Pertemuan WTO di Jenewa yang gagal juga terkait dengan perikanan. Begitu pula krisis finansial global memporakporandakan perdagangan perikanan. Pertanyaannya: bagaimana dampak globalisasi perikanan terhadap Indonesia?

Globalisasi perikanan memiliki paling tidak tiga isu. Isu pertama adalah globalisasi produksi. Saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih didominasi perikanan tangkap (64%) dan budidaya (36%). Sumbangan negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80%, dan terhadap produksi budidaya lebih dari 90%. Bayangkan kontribusi Cina sendiri sudah mencapai 67%. Isu produksi menjadi isu global tatkala semua negara kini merasakan krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap. Pauly et.al memprediksi bahwa perikanan dunia telah mengkonsumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia untuk menghasilkan 80 juta ton ikan.. Jadi, untuk menangkap satu ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat, telah dihitung
bahwa trawl butuh satu liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga liter/kilogram, dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl dimana-mana diprediksi akan makin menurun. Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% (trawl), 40% longline, 20% (purese seine). Di Indonesia juga kurang lebih sama. Karena itu, ke depan budidaya akan terus didorong dan dapat melebihi tangkap, seperti sudah ditunjukkan Cina dan Vietnam. Namun diperkirakan tahun 2030 di dunia pun tangkap masih lebih besar (93 juta ton) dan budidaya (83 juta ton). Budidaya menjadi jalan keluar karena semua orang sadar bahwa kini 76% perikanan di dunia sudah dieksploitasi penuh dan lebih. Disini tergambarkan bahwa betapa produksi perikanan suatu negara sudah sangat tergantung dari kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Bencana produksi dialami baik NSB dan NM, akibat globalisasi energi dimana BBM menjadi mainan para spekulan internasional.
Yang membedakan adalah adaptasinya terhadap faktor eksternal tersebut, yang tentu perikanan NSB lebih lambat dalam menyiasati dan akhirnya kolaps.

Krisis finansial global makin menyengsarakan sektor produksi.Hampir bisa diduga bahwa investasi di sektor perikanan akan menurun. Paling tidak dilihat dari naiknya suku bunga perbankan yang tidak kondusif untuk investasi. Bagi investasi yang menuntut bahan baku impor juga akan terkendala dengan naiknya kurs rupiah yang akhir tahun ini bervariasi Rp 11-13ribu. Kondisi ini mestinya menuntut kita untuk mengembangkan industri perikanan dengan bahan baku lokal dan mendorong tumbuhnya industri pakan.

Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya. Baik NSB maupun NM dituntut untuk tunduk pada aturan-aturan internasional tentang bagaimana mengelola sumberdaya supaya lestari, kalau tidak mau dituduh melakukan IUU (illegal, unregulated, unreported) Fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak dilaporkan. Nilai IUU fishing di dunia kini nilainya telah mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30% hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU fishing. Di Afrika bisa mencapai 50%. Di UE, IUU masih berlangsung karena bisa menghemat 20% produksi dari pada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa (UE) yang paling gencar membasmi karena ternyata 9% produk impor UE berasal dari IUU fishing. Karena itu EU menerapkan EU Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar EU. Bagi Indonesia, adanya gerakan anti IUU fishing bisa berkah atau bencana. Berkahnya adalah karena laut kita
adalah obyek pencurian ikan. Belum ada angka resmi kerugian kita, tapi tahun 2004, kerugian kita mencapai 1-4 milyar rupiah/kapal/ tahun, dan ada sekitar 1000 kapal yang dapat dikategorikan IUU fishing, sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun rupiah/tahun. Nah, bencananya adalah kini kita tak bisa lagi menangkap ikan di laut internasional secara bebas. Kita harus menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) atau komisi pengelolaan perikanan regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut. Seperti, untuk menangkap tuna di samudera Hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Commission), juga CCSBT (Convention of Conservation for Southers Bluefin Tuna), dan di Pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Committee). Kalau kita tidak menjadi anggota RFMOs tersebut maka akan dianggap ilegal, dan produk kita akan diembargo di pasar internasional. Embargo untuk tuna sirip biru kita
masih berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang yang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT maupun IOTC ternyata dominan. Begitu pula UE yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC juga kuat. Namun kini kita sudah menjadi anggota kedua RFMO tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dunia adalah masalah politik internasional, dan tidak hanya masalah teknis. Dan, disinilah NSB menjadi korban.

Isu ketiga adalah globalisasi perdagangan dan isu subsidi. Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9%, dan kontribusi NSB dan NM sama, yakni 50-50. NSB menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar UE (42.7%), Jepang (15.6%), dan US (15.2%), yang totalnya mencapai 73%. Perdagangan diprediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurun 30 tahun meningkat dari 11,5 kg/kapita/tahun menjadi 17 kg/kapta/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007), dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Kini UE, Jepang, dan Amerika sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (food safety). Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang NSB punya kesempatan untuk meraih keuntungan dari pasar NM yang
makin terbuka. Namun persoalannya bukan relasi antara NSB-NM, tetapi lebih pada NSB-NSB. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah diduga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing. Kedua, keuntungan ekspor NSB hanya akan dinikmati para eksportir atau pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku akan tetap menikmati harga lokal. Apakah dengan bea-masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukkan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan kenaikan pembangunan ekonomi dan manusia.

Nah, kini krisis finansial global terjadi dan berdampak langsung pada perdagangan perikanan dunia.Lesunya pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa tersebut akan menjadikan negara berpenduduk besar menjadi sasaran baru ekspor perikanan. Karena itulah perlu segera diantisipasi fenomena ini melalui instrumen pengendalian impor, seperti peningkatan uji mutu produk, pembatasan pelabuhan masuknya produk impor, dan dalam beberapa kasus perlu pengenaan tarif. Diversifikasi pasar juga sangat penting.

Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000) nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar US dolar dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar US dolar untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar US dolar. Ini dianggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan overeksploitasi. Namun, Marine Resources Assesment Group atau MRAG (2000) mengingatkan bahwa masalah overeksploitasi sumberdaya ikan di NSB ini bukan karena subsidi, tetapi karena lemahnya pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal yang sama juga sesuai hasil riset beberapa ilmuwan Jepang di World Fisheries Congress lalu yang melihat subsidi tidak berkorelasi dengan kerusakan sumberdaya. Melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti skim kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja,
memang subsidi tersebut mesti disertai dengan skema fisheries management yang memadai.

Untuk itu, globalisasi perikanan harus disikapi secara komprehensif dan kritis. Tanpa itu, kita akan terus menjadi korban.

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang

KOMPAS, Sabtu*, 27 Desember 2008

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang
Sabtu, 27 Desember 2008 | 00:52 WIB

*Ester Lince Napitupulu*

"Barangsiapa menguasai gelombang, dialah yang akan menguasai
perdagangan. Barangsiapa menguasai perdagangan, dialah yang akan
menguasai dunia!"

Spirit yang melandasi kejayaan Britania Raya sejak berabad-abad lampau
tersebut, bagi Laode Masihu Kamaluddin, masih sangat relevan dengan tata
ekonomi dunia hari ini. Buktinya? Sekarang pun ada dua gelombang yang
masih jadi rebutan: gelombang udara (baca: frekuensi) dan gelombang laut!

Indonesia sebagai negara kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya
berupa laut dan pantai, sudah seharusnya melihat laut sebagai potensi
untuk menjadi bangsa yang maju dan disegani.

"Bagaimanapun, 90 persen perdagangan dunia masih melalui laut, dan 40
persennya melalui Indonesia," ujar tokoh penggagas terbentuknya
Departemen Kelautan dan Perikanan ini.

Keyakinan bahwa masa depan ekonomi Indonesia ada di laut itu pula yang
mendorong Masihu---begitu ia biasa disapa---mengembang kan gagasan sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Konsep yang mengajak pembangunan negara ini berpaling ke laut itu diperjuangkan Masihu sejak ia duduk di kursi legislatif pada kurun 1993-2004 hingga sekarang.

Guru besar di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara,
Universitas Islam Bandung, dan Universitas Muhammadiyah Malang ini
memanfaatkan berbagai forum ilmiah dan seminar untuk terus menyuarakan gagasannya sebagai ilmuwan. Meskipun Departemen Kelautan dan Perikanan sudah terbentuk, ia belum puas karena spiritnya belum seperti yang diharapkan.

Masihu terus berjuang supaya gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim
berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai itu terwujud. Dia ingin
supaya provinsi dan atau kabupaten yang berbasis maritim dengan
provinsi/kabupaten yang memiliki daratan luas harus dipisah pola fiskalnya.

"Seperti Wakatobi (kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara), ini tidak
akan pernah bisa mengejar ketertinggalan dari yang lain karena
perhitungan dana alokasi umum atau DAU berdasarkan luas daratan. Laut
tidak diperhitungkan. Dalam konsep pemerintah, yang dimaksud wilayah
adalah daratan. Ini merugikan daerah yang lebih luas lautnya," jelasnya.

Pembangunan ekonomi maritim yang ia maksudkan di antaranya menyangkut fungsi dari wisata bahari, perikanan, transportasi, dan pengembangan pelabuhan. "Ini harus menjadi kerangka kerja pengembangan ekonomi maritim Indonesia. Ini gagasan awalnya," kata Masihu.

Keyakinannya akan potensi laut Indonesia ini karena sumber daya di bawah
laut begitu besar dan belum tereksplorasi.

"Emas, uranium, dan titanium kita penuh, tapi teknologi kita belum
nyampe. Saya orang kimia, jadi paham. Saya sudah tulis itu di buku.
Sekarang problemnya masih teknologi saja," ujarnya.

*Bersitegang dengan Habibie*

Ketika menjadi anggota DPR pada 1997-1999, Masihu pernah berdebat
"sengit" dengan BJ Habibie yang saat itu menjadi Menteri Negara Riset
dan Teknologi. Masihu memprotes Habibie yang mengagungkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Dalam satu persidangan di DPR, tahun 1997, Masihu menguraikan gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Beberapa bulan kemudian, tak lama setelah Habibie terpilih menjadi wakil presiden, Masihu yang baru pulang dari kunjungan kerja di Yogyakarta mendapat kabar bahwa dirinya dicari BJ Habibie.

"Saya sempat takut juga. Saya kira mau dimarahi karena bersitegang di
DPR itu. Pas masuk, saya minta maaf kepada Wapres. Tapi di luar dugaan,
saya malah disuruh duduk untuk menceritakan kembali gimana konsep
membangun ekonomi maritim yang saya maksud," papar Masihu.

Habibie lalu meminta Masihu membantu Wapres yang hendak mengembangkan dunia maritim.

"Saya kemudian jatuh hati kepada Habibie, dari berhubungan sebuah
konsepsi lahir kerja sama. Itu yang membuat saya kagum. Di Indonesia
jarang orang seperti itu. Biasanya, kalau kita berbeda pendapat,
bermusuhan. Karena itu saya respek, bersahabat. Saya disuruh menulis
konsep itu," ceritanya.

Gagasan Masihu inilah yang akhirnya bisa mendorong supaya kelautan dan
daerah kepulauan diperhatikan. Gagasan itu bahkan telah ia tuangkan
dalam bentuk buku, terutama tentang bagaimana mengembangkan perikanan dan kelautan, pulau-pulau kecil, perhubungan, industri kelautan di pelabuhan, pariwisata bahari, hukum laut, sistem pertahanan laut
Indonesia, dan pengelolaan kapal-kapal tenggelam.

*Belum puas*

Meski kini sudah ada Departemen Kelautan dan Perikanan, Masihu merasa
wilayah kepulauan dan daerah pesisir masih diabaikan. Dirinya tetap
masih memperjuangkan supaya dalam pandangan fiskal harus dibagi dua,
untuk daerah yang berbasis lautan luas dan yang berbasis daratan luas.

Menurut Masihu, Indonesia merupakan negara kepulauan, tetapi konsepsi
kita tidak mencerminkan sebuah pandangan negara kepulauan. Kenyataan ini yang mendorong Masihu untuk kembali memperjuangkan penerapan
gagasan-gagasannya itu.

Salah satunya, ia berharap terjadi penguatan lembaga Dewan Perwakilan
Daerah atau DPD melalui orang-orang yang kelak---pada periode hasil
pemilu mendatang--- duduk di dalamnya.

Saat ini, Masihu bersama salah satu badan PBB sedang merancang
pendidikan politeknik maritim di Sibolga, Sumatera Utara. Politeknik
maritim ini sebagai bagian dari konsep sabuk ekonomi maritim berbasis
kepulauan yang ia gagas.

Mengapa di Sibolga? Sebab, Sibolga adalah bagian dari kota pantai yang
mengarah ke Samudra Indonesia. Pada waktu-waktu tertentu, kapal-kapal
ikan yang berada di Samudra Indonesia harus mengambil minyak, air,
garam, dan lain-lain di Sibolga. Aktivitas ini bisa menggerakkan roda
ekonomi wilayah Sibolga dan sekitarnya.

"Feeling saya, kalau Indonesia tidak jadi negara maritim, Indonesia
tidak bisa maju. Karena daratan kita terbatas dan padat. Adapun laut
kita potensinya sangat luas dan belum tergarap dengan baik," kata Masihu.

Kecintaan dia pada laut sudah tertanam sejak lama. Dia adalah anak
nelayan dari Kaledupa (dulu di Kabupaten Buton, sekarang Kabupaten
Wakatobi). Ketika kecil, Masihu hidup di laut, berlayar ke pulau-pulau
lain di Indonesia bersama ayah dan keluarganya.

"Ilmu kelautan sudah saya tamatkan secara alami ketika masih di sekolah
dasar. Saya paham betul bagaimana laut itu dan manfaatnya bagi
kesejahteraan bangsa. Semua data tersebut saya punya," ujarnya. (KEN)

SEWINDU Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut

Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, sebagai bagian dari pengemban misi Direktorat Jenderal Kelutan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil, khususnya dalam Konservasi sumberdaya Ikan. Hal ini tentunya dalam Mewujudkan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumberdaya ikan (SDI) untuk kesejahteraan masyarakat.

Direktorat konservasi merupakan direktorat Bungsu di Ditjen KP3K, direktorat ini hadir satu tahun belakangan dibanding dengan direktorat lain di Ditjen KP3K, karenanya jika tahun lalu keluarga besar Kita merayakan SEWINDU Ditjen KP3K, maka khusus direktorat KTNL baru tahun ini mencapai usianya yang SEWINDU. Namun demikian, dalam refleksi pelaksanaan SEWINDU Ditjen KP3K, tercatat cukup banyak capaian-capaian dari Direktorat KTNL yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kita ambil contoh, PP 60 tahun 2007 adalah salah satu bukti kerja keras Direktorat KTNL dalam mengemban fungsinya dalam konservasi sumberdaya ikan. Adanya Permen 17/2008 juga turut mewarnai perkembangan kebijakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pengembangan KKLD, hasil yang di capai juga cukup menggembirakan. Saat ini telah dicadangkan lebih dari 9 Juta KKLD di 32 Kabupaten/kota. Untuk mencapai 10 Juta Hektar pada tahun 2010 diperkirakan akan tercapai dengan baik.

Kemudian sebagaimana amanat PP 60/2007, sebagai langkah tindaklanjut pelaksanaan peraturan tersebut menuntut tugas pokok dan fungsi yang lebih luas dari Departemen Kelautan dan Perikanan dalam implementasi sebagai management authority CITES di Indonesia untuk Sumberdaya Ikan. Ini mendorong penguatan dan pengembangan kelembagaan lingkup Ditjen KP3K, berupa pembentukan UPT maupun peningkatan upaya sinkronisasi dan penyelarasan urusan konservasi dengan berbagai instansi, seperti departemen kehutanan.

Mengingat sedemikian besarnya tugas, pokok dan fungsi direktorat KTNL terkait dengan sumberdaya ikan, maka ke depan tantangan kedepan tidaklah semakin mudah. untuk intu, perlu kerja keras dan terus mengembangkan diri dalam koordinasi yang sinergis.

Dalam peringatan sewindu Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, diluncurkan buku: Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia. uraian mengenai kinerja direktorat, dirangkum dalam buku "menjaga Kelestarian Sumberdaya Ikan dan Ekosistem Perairan".

Sambutan Dirjen KP3K silahkan KLIK DISINI

Jumat, Desember 26, 2008

Pemerintah Perhatikan Daerah Pesisir

sumber: http://republika.co.id/koran/0/22611.html
Jumat, 26 Desember 2008 pukul 08:40:00
Pemerintah Perhatikan Daerah Pesisir Pulau terluar rawan diklaim pihak lain.


GRESIK--Pemerintah Indonesia memberikan atensi yang tinggi terhadap pemberdayaan di pesisir. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kalau wilayah pesisir tidak diberdayakan, akan berbahaya dan akan hilang.

Hal tersebut disampaikan Presiden SBY dalam sambutannya pada acara puncak Peringatan Hari Nusantara Ke-9 Tahun 2008 di Pelabuhan Umum Gresik, Rabu (24/12). Presiden mengingatkan, pada kasus Pulau Ligitan dan Sipadan, di mana Pemerintah Indonesia akhirnya tidak bisa mempertahankan pulau itu karena Malaysia selalu memberdayakan wilayah tersebut. SBY meminta agar bangsa Indonesia lebih pandai dalam mengelola dan mengawasi pulau-pulau terdepan. Karena itu, pemerintah mengembangkan kebijakan dan program khusus untuk pulau-pulau terdepan.

"Mari, kita tingkatkan pengelolaan perikanan kita, sistem, metode, dan infrastruktur. Mari, lanjutkan pembangunan di daerah yang memiliki wilayah lautan dan pesisir. Mari, terus bantu tingkatkan taraf kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir dan dukung perguruan tinggi dan lembaga pendidikan untuk betul-betul bisa mendorong dan mempercepat perkembangan sektor ini," paparnya.

Ditegaskannya, Pemerintah Indonesia telah melakukan pendataan pulau-pulau terluar yang tersebar di wilayah Indonesia. Pada 2005, jumlah pulau yang terdata berjumlah 5.029 pulau. Tahun 2006, sebanyak 3.826 pulau. Dan, pada 2007 sampai Agustus, tercatat 4.921 pulau. "Pulau ini akan didaftarkan. Sebab, jika tidak didata, akan rawan dan rentan diklaim negara lain," imbuh Presiden.

Selain itu, SBY berharap pada masyarakat, khususnya yang menerima bantuan, agar semua bantuan yang diserahkan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. "Infrastrukturnya tolong dirawat dengan baik. Sarana pelayaran, seperti kapal-kapal, peliharalah dengan sebaik-baiknya. Karena, anggaran negara yang kita gunakan tidak sedikit," ujarnya.

Presiden berpesan agar seluruh komponen bangsa, baik generasi saat ini maupun yang akan datang, untuk terus mempertahankan, mengamankan, menjaga, serta mengembangkan sumber daya-sumber daya yang dimiliki, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. "Mari, kita bangun dan kita kembangkan sumber daya alam yang banyak sekali. Demi kesejahteraan rakyat kita, tepat kiranya ke depan ini, pembangunan di Indonesia harus bersama-sama secara seimbang menggunakan dan mendayagunakan sumber daratan dan sumber kelautan," katanya.

Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal yang hadir di acara itu menegaskan, berkat Deklarasi Djuanda, Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas. "Luas laut sekitar tiga perempat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Sebelumnya, masyarakat internasional mengakui bahwa batas laut teritorial selebar tiga mil laut terhitung dari garis pantai terendah," ujarnya.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa segala perairan yang ada di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan RI dan merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan RI.

Usai memberikan sambutan, Presiden menandatangani prasasti sebagai tanda pengoperasian empat unit kapal perintis. Kapal-kapal tersebut, antara lain satu unit KM Papua Enam tipe 350 DWT untuk wilayah Merauke, Provinsi Papua; satu unit KM Bukit Patung tipe 350 DWT untuk wilayah Sukamara, Provinsi Kalimantan Tengah; satu unit KM Tanjung Tungkar tipe 750 DWT untuk wilayah Tual, Provinsi Maluku; dan satu unit KMP Egrom kapal feri 500 GT untuk operasi wilayah Saumlaki, Provinsi Maluku. tok

(-)

Kamis, Desember 18, 2008

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

bahwa guna menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari yang berwawasan

global serta bermanfaat bagi kemakmuran rakyat dengan tetap

memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta tata nilai

bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional, maka sebagai

tindaklanjut Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

dipandang perlu menetapkan Perencanaan Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;

bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil selengkapnya, silahkan KLIK DISINI

Senin, November 03, 2008

PAMERAN TERUMBU KARANG


It's Umbu Time
celebrated to IYOR 2008

DUTA KARANG


It's Umbu Time
celebrated to IYOR 2008

CERDAS CERMAT


It's Umbu Time
celebrated to IYOR 2008

Jumat, Oktober 10, 2008

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka dipandang perlu untuk mengatur Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.


Pada tanggal 17 September 2008 telah di tetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Peraturan menteri tersebut, selengkapnya silahkan KLIK DISINI

Minggu, Agustus 31, 2008

Hari Libur dan Cuti Bersama Tahun 2009

LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 4 TAHUN 2008
NOMOR : KEP. 115/ MEN/VI/2008
NOMOR : SKB/06/M.PAN/6/2008
TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009
A. HARI LIBUR TAHUN 2009
No Tanggal Hari Keterangan
1. 1 Januari Kamis Tahun Baru Masehi
2. 26 Januari Senin Tahun Baru Imlek 2560
3. 9 Maret Senin Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 26 Maret Kamis Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1931
5. 10 April Jum’at Wafat Yesus Kristus
6. 9 Mei Sabtu Hari Raya Waisak Tahun 2553
7. 21 Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus
8. 20 Juli Senin Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
9. 17 Agustus Senin Hari Kemerdekaan RI
10. 21-22 September Senin-Selasa Idul Fitri 1 Syawal 1430 Hijriyah
11. 27 November Jum’at Idul Adha 1430 Hijriyah
12. 18 Desember Jum’at Tahun Baru 1431 Hijriyah
13. 25 Desember Jum’at Hari Raya Natal
B. CUTI BERSAMA TAHUN 2009
Tanggal Hari Keterangan
2 Januari Jum’at Cuti Bersama Tahun Baru Masehi
18 September Jum’at Cuti Bersama Idul Fitri
23 September Rabu Cuti Bersama Idul Fitri
24 Desember Kamis Cuti Bersama Natal
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008
MENTERI AGAMA
ttd
MUHAMMAD M. BASYUNI
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
ttd
ERMAN SUPARNO
MENTERI NEGARA
PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA
ttd
TAUFIQ EFFENDI

Kamis, Mei 08, 2008

Komodo - Conservation Manager

source: Peter J. Mous

PT. Putri Naga Komodo
Conservation Manager

PT. Putri Naga Komodo (PNK) is part of Komodo Collaborative Management Initiative established
to support the 25-year management plan of Komodo National Park (KNP) and World Heritage
Area developed by the Government of Indonesia with the assistance of The Nature Conservancy.
The Conservation Manager will be responsible for recommending and reviewing applicable
conservation policies, related procedures, guidelines and objectives, and providing technical
advice to the broader program as a whole. S/he will oversee the following functions: marine and
terrestrial conservation, science, biological and socioeconomic monitoring, program evaluation,
grant writing, donor reporting and capacity building across the program. S/he will assist with
programmatic and strategic planning, the development of detailed annual work plans and
budgets, and the alignment of PNK’s conservation work with the KNP 25-year management plan.
S/he will supervise the Science and Monitoring Coordinator and Resource Protection Officer, and
reports to the Managing Director. The position is based 100% in Labuan Bajo, Flores, with
frequent travel to the Bali office.
Job Requirements
1. Masters or PhD degree in Marine, Fisheries or Environmental Science and/or Management.
2. At least 10 years working experience in marine conservation and management. Experience
working in Indonesia or Southeast Asia, particularly in remote locations in an advantage.
3. Demonstrated ability to design and implement strategies and procedures to enhance the
overall performance of the program in accordance with short- and long-term conservation
goals and objectives.
4. Demonstrated ability to motivate, lead and coordinate, set objectives, and manage the
performance of a small but highly creative team, with different capacity and skills.
5. Capable of balancing many different and sometimes conflicting factors and issues when
making decisions, and responding quickly, efficiently and effectively to issues that might have
financial and/or legal impacts on the organization, or are potentially detrimental to the Park.
6. Sound knowledge and understanding of organizational structure and systems, financial
procedures and reports.
7. Ability to maintain confidentiality and demonstrate sensitivity and discretion with all aspects of
work.
8. Willing to work independently and under pressure in some work periods, flexible hours and
willing to travel to and work regularly in the field.
9. Ability to develop and nurture partnerships with government officials, private sector, local
NGOs, communities and civil society, and conduct training and capacity building of a range of
stakeholders.
10. Preference will be given to candidates with excellent oral and written communication skills in
Bahasa Indonesia and English.
11. Position is available to both national and international applicants.
The extended deadline for applications is Saturday, 31 May 2008. If you have any specific
questions about the position please contact Dr. Sangeeta Mangubhai:
sangeeta@putrinagakomodo.com
Applicants should send their CV (with 3 nominated referees) and a letter addressing the criteria
above, to the PNK Human Resources Manager, Mr. Bambang Wijarnako:
bambang@putrinagakomodo.com

Rabu, April 09, 2008

Competition of Coral Reef Digital Poster on DEEP Indonesia 2008


Competition of Coral Reef Digital Poster on DEEP Indonesia 2008
“The beauty of Coral should be protected”


COREMAP II is an initiative of Indonesian Government on Coral Reef Conservation and Rehabilitation. The objective of the program is viable framework on coral reef management and rehabilitation in selected program’s sites. On of the program’s sub-components is Public Awareness which aims to support behavioral change for sustainable coral reef co-management through provision of public awareness activities. Toward this objective, the program in collaboration with DEEP Indonesia 2008 Organizer and Indonesian Forum Design and Graphic (FDGI) is doing Competition on coral reef Digital Poster for Students as one of the communication strategy.

Digital Poster is effective communication medium to deliver a clear short message and impressive because it will be displayed on the large size media in digital format which is ease to be scanned to manual.

The objective of the competition is to communicate the idea and to building community awareness to participate on coral reef conservation and campaigning about against destructive fishing practices.

The competition as held on last week of March ’08 as one of DEEP Indonesia ’08’s event. There were 250 posters submitted to FDGI as a committee. The committee was selected six best posters as winners. The winning posters are:

- 1st Julius Tomo Ishak (University of Pelita Harapan)
- 2nd Monica Octaviani (Universty of Bina Nusantara)
- 3rd Fernand Sulaiman (University of pelita Harapan)
- 4th Renny Sartika (University of Bina Nusantara)
- 5th Putri Regina (University of Bina Nusantara)
- 6th Monique Rizki Divita (University of Bina Nusantara)


This competition is getting public attention especially who coming to the exhibition. Ministry of Marine Affairs and Fisheries impressed the result and decided to publish the posters widely. It was a part of Indonesian event on International Year of The Reef activities.

by: Leonas Chatim and Suraji - Coremap II

Rabu, April 02, 2008

"Melestarikan Terumbu Karang" menjadi tema Let's go Green (Live on Metro TV 2 April 2008)

Tema acara Let's go Green pada hari Rabu, 2 April 2008 pukul 16.05 - 16. 30 WIB cukup lekat dengan aktivitas yang selama ini dilakukan oleh Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II. ya... tema itu adalah "melestarikan terumbu karang". acara yang dipandu oleh Sdri. Chandra Dewi tersebut menghadirkan dua narasumber, yaitu: Bpk. M. Eko Rudianto (Project Manager COREMAP II) dan Bpk. Darmawan (Xnet).
Pembicaraan yang cukup hangat tersebut, mencatat beberapa point penting yang sempat penulis tangkap antara lain:
- Kondisi terumbu karang yang cukup buruk di Indonesia telah mengalami sedikit perbaikan ke arah yang lebih baik (terutama di wilayah Indonesia Bagian Barat)
- Dalam jangka panjang, program yang secara konsisten dijalankan mampu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap terumbu karang, memberikan peluang mata pencaharian alternatif, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
- kampanye dan/atau sosialisasi pengelolaan terumbu karang diarahkan kepada tiga level audience, yaitu (1) penentu kebijakan (berupa penguatan kapasitas, workshop, pedoman, audiensi dll); (2) masyarakat di lokasi program (pendampingan, pelatihan, pondok informasi, pembinaan kelompok, pengelolaan berbasis masyarakat); (3) masyarakat pada umumnya (media cetak, televisi, pameran, acara pemuda dan anak-anak, dll)
- kampanye dalam bentuk pameran seperti Deep Indonesia 2008(28-30 maret 2008) cukup efektif untuk mensosialisasikan program, demikian pula acara let's go green
- pameran Deep Indonesia jika dilihat dari antusiasme masyarakat dan stakeholder yang terlibat menunjukkan peningkatan yang cukup bagus dan diharapkan dapat menjadi ajang promosi pariwisata bahari. contohnya, kabupaten Raja ampat dan Wakatobi (keduanya merupakan lokasi coremap II) cukup aktif dalam promosi untuk menggalang investor pariwisata. Tidak kalah pentingnya pula bagi peserta pameran untuk meningkatkan potensi bisnis traveling, wisata bahari dan bawah airnya.
- kenapa lets go green.... ya, kerusakan terumbu karang pada gilirannya juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas di daratan, seperti pencemaran, erosi dan sedimentasi akibat penggundulan hutan dan lain sebagainya. memang, cukup erat hubungan darat dan laut... lets go green... go blue
Tahun 2008 ini merupakan tahun terumbu karang internasional. pada akhir dialog, narasumber mengajak seluruh kalangan dan stakeholder terkait untuk bersama-sama mengkampanyekan pelestarian terumbu karang. Mari lestarikan terumbu karang " terumbu karang sehat, ikan berlimpah, masyarakat sejahtera"...

Indonesia's International Year of The Reef 2008 was Launched

Indonesia's International Year of The Reef campaign was officially launched in "Deep Indonesia 2008" at Jakarta Convention Center on Friday March 28, 2008.Indonesia's IYOR 2008 launch by Mr. Syamsul Ma'arif (Director General of Marine Affairs, Coasts and Small Island)on behalf of the Minister of Marine Affairs and Fisheries. Through the enthusiasm of the Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP), The Minister very much hope that with the full support and cooperation of all stakeholders and the wider community, this International Year of the Reef will be a great success
The Indonesia's IYOR Feature Presentation, please see the video below:
if you dont see anything, please click here

Rabu, Maret 26, 2008

KUNJUNGI Stand COREMAP II dalam Deep Indonesia 2008


COREMAP II berpartisipasi dalam Pameran bawah laut TERBESAR di Indonesia "Deep Indonesia 2008", di Jakarta Convention Center, 28-30 Maret 2008. dalam Pameran ini, secara RESMI International Year of the Reef 2008 (IYOR 2008) di Indonesia di LUNCURKAN. Booth COREMAP II menempati stand Kavling A7.

Senin, Maret 24, 2008

Field Visit Jelang Midterm Review Bank Dunia

selama kurang lebih 7 (tujuh) hari, yaitu sejak 12 - 18 Maret 2008, penulis melaksanakan kunjungan lapang ke Raja Ampat dalam rangka persiapan midterm review dan melaksanakan monitoring evaluasi pelaksanaan kegiatan COREMAP II di wilayah tersebut.... (bersambung)

Senin, Maret 10, 2008

PENGUMUMAN LELANG COREMAP II - 2008

Satker rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP II) Ditjen kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2008 akan mengadakan prakualifikasi pengadaan barang/jasa yang pendanaannya bersumber dari Loan/Credit World Bank (WB), Loan Asian Development Bank (ADB), dan APBN. Pelelangan barang/jasa mengacu kepada Guideline World bank, Guideline ADB dan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 dan perubahannya tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Judul-judul kegiatan yang akan dilelangkan sebagaimana di website:
www.coremap.or.id
atau di:
www.dkp.go.id
informasi lebih lanjut dapat dilihat di:
Sekretariat Coremap II, Ditjen KP3K, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jl. Tebet Raya No. 91 Jakarta Selatan
Telp. (021) 83783931 Fax. (021) 8305007

Jakarta, 10 Maret 2008
ttd
PANITIA

Rabu, Maret 05, 2008

COREMAP II dan IYOR 2008

Sepuluh tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2007 telah dideklarasikan “International Year of the Reef (IYOR)”. Kampanye IYOR yang pertama telah diinisiasi sebagai tanggungjawab atas meningkatnya ancaman dan terdegradasinya terumbu karang dan asosiasinya, seperti mangrove dan padang lamun. IYOR 97 adalah upaya global untuk meningkatkan kepedulian dan pemahaman tentang terumbu karang serta mendukung konservasi, penelitian dan upaya pengelolaannya.
IYOR 97 dinyatakan cukup berhasil, dengan lebih dari 225 lembaga di 50 negara dan Negara bagian berpartisipasi, lebih dari 700 artikel dalam paper dan majalah dihasilkan, ratusan survey ilmiah dilakukan serta mampu mempercepat inisiasi kebijakan dan konservasi yang didedikasikan untuk terumbu karang dan ekosistemnya. Informasi selengkapnya mengenai IYOR 97 dapat ditemukan di: http://www.publicaffairs.noaa.gov/coral-reef.html
Sepuluh tahun setelah IYOR 97, maka program IYOR akan dilanjutkan pada tahun 2008 mengingat pentingnya kebutuhan untuk meningkatkan kepedulian dan pemahaman mengenai terumbu karang serta untuk mengkonservasi dan mengelola sumberdaya terumbu karang dan asosiasi ekosistemnya yang teramat bernilai ini secara berkelanjutan. Inisiatif Terumbu karang secara internasional (International Coral Reef Initiative) pada tahun 2008 ditandai sebagai tahun terumbu karang internasional/ the International Year of the Reef (IYOR 2008)
Tujuan IYOR 2008 adalah:
• Memperkuat kepedulian tentang manfaat ekologi, ekonomi, sosial dan budaya dari terumbu karang dan ekosistem asosiasinya
• Meningkatkan pemahaman terhadap ancaman kritis dari terumbu karang serta menggerakkan praktek dan solusi inovatif untuk mengurangi ancaman tersebut.
• Menggerakkan aksi penting pada semua tingkatan untuk membangun dan melaksanakan strategi pengelolaan yang efektif untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan terhadap ekosistem terumbu karang.
Lebih lanjut, IYOR 2008 merupakan kegiatan kampanye sepanjang tahun dalam berbagai bentuk oleh pemerintah, individu, korporasi, lembaga-lembaga pendidikan di seluruh dunia untuk mempromosikan aksi-aksi konservasi dan memperkuat konstituensi jangka panjang untuk konservasi terumbu karang. Setiap orang diundang untuk secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan dimaksud.
Coremap merupakan program jangka panjang yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia, saat ini telah memasuki tahap akselerasi yang bertujuan untuk meningkatkan kedulian dan kesadaran masyarakat , melindungi terumbu karang dan ekosistemnya, serta meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pesisir yang mengelolanya.
COREMAP II telah menjadi bagian dari IYOR 2008 untuk mengkampanyekan kepedulian dalam pengelolaan terumbu karang di Indonesia. Sebagai bagian dari focal point IYOR 2008 di Indonesia, Unit koordinasi nasional Coremap II akan menggelar berbagai aktivitas guna menyemarakkan tahun terumbu karang internasional, antara lain:
1. Deep Indonesia 2008. Merupakan kegiatan pameran yang mengexsplor potensi bawah laut terbesar di Indonesia. Pada acara ini secara resmi IYOR 2008 indonesia akan diluncurkan. Beberapa rangkaian kegiatan yang turut menyemarakkan stand COREMAP II, antara lain: (1) Talk Show dengan tema “The Beauty of Coral Reef” tanggal 29 Maret 2008. (2) Workshop Pemerhati Terumbu Karang dengan tema “Ekowisata Bahari Bergantung pada Terumbu Karang” tanggal 28 Maret 2008. (3) Lomba Menggambar dan Mewarnai untuk anak-anak. (4) Lomba poster digital untuk mahasiswa, dan berbagai aktivitas lainnya yang sangat meriah.
2. Journalist Traveling and Writing Competition. Merupakan ajang komunikasi program COREMAP II degan media dalam mengkampanyekan pengelolaan terumbu karang. Sebagaimana telah dilakukan pada tahun sebelumnya, kegiatan ini cukup efektif dalam meningkatkan publikasi mengenai konservasi terumbu karang di media.
3. Duta karang. Merupakan delegasi/wakil-wakil generasi muda daerah yang terpilih untuk mengkampanyekan dan membantun upaya peningkatan penyadaran masyarakat. Selain duta daerah, pada tahun 2008 ini akan dipilih duta karang nasional dari kalangan publik figur
4. Lomba Cipta Lagu Terumbu Karang. Merupakan ajang kreativitas khalayak umum dalam mengekspresikan pesan konservasi terumbu karang kedalam sebuah lagu.
5. Cerdas Cermat. Kegiatan ini dilaksanakan di setiap daerah dan secara Nasional. Cerdas Cermat tingkat Nasional diikuti oleh pelajar tingkat SLTA. Ajang adu kecerdasan dan kecepatan dalam menganalisis upaya pengelolaan terumbu karang ini diharapkan mampu membekali generasi muda untuk mencintai lingkungan khususnya konservasi terumbu karang.
6. Feature COREMAP II. Merupakan upaya publikasi dan penyadaran masyarakat melalui media televisi dan kampanye secara luas melalui digital video compact disk yang dapat diputar oleh masyarakat di lokasi program.
7. Buletin COREMAP II. Media komunikasi internal yang terbit empat kali setahun ini, secara khusus menyajikan rangkaian aktivitas COREMAP II menyemarakkan IYOR 2008
8. Musyawarah Nasional (Munas) dan Pameran COREMAP II. kegiatan pertemuan yang membahas issue pengelolaan terumbu karang nasional dan daerah ini merupakan kegiatan yang kedua, setelah pada tahun 2007 lalu sukses digelar. Pada kegiatan tersebut, sekaligus menandai peluncuran Indonesian Coral Reef Society (INCRES) yang merupakan wadah untuk pemerhati terumbu karang di Indonesia. Munas 2008 ini merupakan Munas kedua yang akan menjadi muara dari berbagai kegiatan dan menjadi puncak aktivitas COREMAP II di tahun 2008. Rencananya, acara ini digelar pada September 2008.
Selain berbagai aktivitas secara nasional, ditingkat daerah program COREMAP II pada tahun 2008 juga didedikasikan untuk menyemarakkan IYOR 2008.
Partisipasi Bapak/ibu sekalian dalam kegiatan ini sangat diharapkan untuk mensukseskan tahun terumbu karang internasional. Info lebih lanjut dapat dilihat pada www.iyor.org. Coremap II sendiri akan mulai melaksanakan kegiatan kampanye ini dengan peluncuran IYOR 2008 Indonesia pada acara pembukaan DEEP Indonesia tanggal 28 Maret 2007. Info lengkap tentang keterlibatan Coremap II dapat dilihat pada www.coremap.or.id


Tim Coremap II

catatan ringan Diskusi Pengelolaan Pesisir secara Terpadu

sebagaimana ditulis oleh imam bachtiar pada coremap2@yahoogroups.com


CATATAN RINGAN

DISKUSI PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU (ICM)

Kampus Dramaga IPB, 9 Januari 2008



Imam Bachtiar



Hari terakhir dari tahun 1428 H merupakan hari dimana mimpi banyak pemerhati sumberdaya pesisir seperti saya menjadi kenyataan. Wacana Pesisir IPB mengadakan diskusi tentang Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICM, Integrated Coastal Management) di kampus Dramaga, yang menghadirkan praktisi atau implementator dari para pengelola Proyek Pesisir (Prof. Dr. Dietriech G. Bengen), Proyek PEMSEA (Ir. Zulhasni, M.Sc.), Proyek MFCDP (Ir. Sri Wahyuningsih, M,Sc.), Proyek MCRMP (Ir. Eko Rudianto, M.Bus.) dan Proyek COREMAP (Prof. Dr. Jamal Jompa), serta Dr. Karen von Juterzenska (dosen tamu IPB). Diskusi tersebut dihadiri oleh semua mahasiswa S2 dan S3 serta sebagian dosen (Dr. Sulistiono, Ir. Ki Agus Azis, M.Sc.) dari Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Walaupun demikian, sebagian dosen dosen-dosen yang peduli dengan pengelolaan pesisir dari progran studi lain juga hadir, misalnya Dr. Arif Satria, Dr. Fredinand Yulianda, Dr. Budi. Sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto pada diskusi pertama, dan Dr. Unggul Aktani pada diskusi kedua. Moderator diskusi pertama dan kedua berurutan adalah Dr. Neviati Jamani dan Dr. Luky Adrianto.

Diskusi ini dimaksudkan sebagai wahana belajar dari pengalaman-pengalam an impelementasi proyek dalam mewujudkan suatu ICM di lapang. Bagi mahasiswa pascasarjana, diskusi tersebut merupakan kesempatan yang sangat baik untuk lebih memahami apa dan bagaimana implementasi ICM di Indonesia. Perbedaan pengalaman dari para mahasiswa juga dapat memberikan perspektif dan kesimpulan yang berbeda sehingga dapat memperkaya pencarian solusi-solusi dari permasalahan yang muncul ketika dalam melakukan inisiasi dan implementasi ICM.

Tulisan ringan ini merupakan catatan kecil yang subyektif dari keseluruhan diskusi tersebut. Belajar dari pengalaman keempat proyek tersebut, saya mendapati bahwa kita belum memiliki contoh dari ”best practice” ICM yang monumental sebagaimana di Filipina dan Cina. ”Dengan jumlah pakar pengelolaan pesisir yang banyak dan dana proyek yang besar, keyataan ini agak ironis”, demikian pernyataan Pak Aziz. Ketika proyek telah dapat mencapai tujuannya, sustainabilitas dari pencapaian tersebut juga menjadi masalah. Banyak lembaga yang dibentuk oleh proyek menjadi mati suri ketika proyek berakhir. Penegakan aturan pengelolaan juga menyisakan tanda tanya besar. Jika ketika proyek masih berjalan penegakan aturan sulit dilakukan, apalagi setelah proyek berakhir.

Dalam pemaparannya, Pak Dietriech telah menunjukkan sejumlah keberhasilan Proyek Pesisir yang mencatat sejarah baru dalam pengelolaan pesisir di Indonesia. Tetapi sustainabilitas keberhasilan tersebut masih meragukan. Hal yang sama berlaku untuk semua proyek yang sudah berakhir maupun yang sedang berjalan seperti COREMAP. Hal ini menjadi tantangan yang menarik bagi akademisi yang memiliki komitmen dan optimisme bahwa ICM dapat diterapkan di Indonesia. Kita hanya perlu waktu untuk mendemonstrasikan kepada masyarakat dan pemerintah bahwa ICM merupakan suatu keharusan jika kita memiliki mimpi mempunyai kawasan pesisir yang indah, produktif dan sustainable.



Butuh cinta sejati

Sesuatu yang besar tidak dapat tercapai tanpa kegairahan, demikian bunyi sebuah pepatah dari barat. Pencapaian tujuan sebuah proyek ICM sangat tergantung bagaimana kegairahan para pengelola (implementator). Para pengelola proyek dapat dipisahkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kegairahan atau semangat tinggi dalam mencapai tujuan proyek. Pak Eko menyebutnya sebagai pejuang atau ”champion”. Bagian proyek yang terpenting bagi mereka adalah adalah tercapainya tujuan, yaitu terwujudnya kegiatan ICM di lokasi proyek. Kelompok kedua adalah mereka yang melakukan kegiatan proyek sebagai kewajiban atau tugas, atas honor yang mereka terima. Jika dianalogkan dengan olahraga sepakbola, kelompok pertama adalah pemain yang ingin sekali timnya membuat gol; sedangkan kelompok kedua tidak begitu peduli dengan gol yang dihasilkan, yang penting mereka sudah bermain dan menendang bola. Bagi kelompok yang kedua, proyek merupakan kegiatan pemerintah yang harus dilaksanakan dan dapat dipertanggungjawabk an. Bagian proyek yang terpenting bagi mereka adalah adalah tertib administrasi.

Tujuan sebuah proyek yang menelan biaya puluhan juta dollar tentunya bukanlah tujuan yang kecil, maka untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan kegairahan. Kegairahan yang paling besar hanya muncul dari ”cinta sejati”. Pak Jamal menyebut kegairahan dengan komitmen atau ”cinta sejati”. Cinta sejati memang akan membuahkan kegairahan yang sangat besar pada diri manusia. Cinta sejati tersebut hanya dimiliki oleh kelompok pertama dari pengelola proyek. Tanpa cinta sejati, pelaksanaan suatu proyek merupakan sekedar rutinitas pekerjaan menghabiskan anggaran dan mempertangungjawabk annya.

Bagi akademisi yang menjadi pelaksana proyek, membuat sesuatu yang belum pernah dibuat oleh orang lain merupakan misi dan tantangan yang sangat menarik. Para ilmuwan sangat berkeinginan membuat sejarah, bahwa kehadirannya di muka bumi ini memberi makna tertentu bagi kebaikan umat manusia. Misi pribadi para ilmuwan ini merupakan energi sangat penting bagi pencapaian proyek. Kecintaan ilmuwan kepada ilmu dan tantangan untuk mewujudkan ICM di arena terbuka akan menjadi kunci sukses sebuah proyek. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Pak Dietriech tentang sejarah yang telah dibuat oleh timnya di Proyek Pesisir dan Mitra Pesisir. Tetapi bagi masyarakat pesisir, birokrasi atau politisi, sejarah-sejarah kecil tersebut dapat menjadi tidak penting.

Memang patut disayangkan, kegairahan dari cinta sejati para akademisi masih sulit untuk ditularkan kepada para mitra mereka di dalam proyek. Hal inilah yang dapat menyebabkan sustainabilitas hasil-hasil proyek rendah. Setelah proyek berakhir, para akademisi menarik diri dari proyek sehingga daerah binaan proyek kehilangan sentuhan cinta tersebut. Idealnya, cinta sejati para akademisi dapat menular kepada para birokrasi di tingkat kabupaten, sehingga daerah binaan proyek tidak pernah kekurangan cinta dan kegairahan. Pak Tridoyo yang peduli dengan sustainabilitas proyek akan sangat senang jika di dalam proyek ICM lebih banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki cinta sejati. Banyak pejabat daerah kurang berani melakukan sesuatu yang baru seperti ICM tanpa didampingi secara dekat oleh akademisi. Penggunaan akademisi lokal yang menjadi konsultan proyek merupakan pilihan yang baik untuk mengatasi kurangnya kegairahan setelah proyek berakhir. Hanya dengan cara ini hasil-hasil proyek dapat dipelihara sustainabilitasnya.

Bagi Proyek COREMAP yang ditangani Pak Jamal, issue sustainabilitas pasca proyek ini mesti diantisipasi sejak awal. COREMAP harus mampu menumbuhkan cinta sejati pada terumbu karang di dalam hati para birokrat dan akademisi di kabupaten. Dengan cara ini sustainabilitas hasil-hasil proyek akan terpelihara. Bagi para mahasiswa pascasarjana SPL, ini merupakan tantangan kita bersama mencari metode yang efektif untuk menyebarkan rasa cinta dan kegairahan pada banyak orang. Perlu diingat bahwa cinta itu bukan hanya di bibir saja melainkan jauh di dalam lubuk hati.



Tanpa sanksi aturan tidak berbunyi

Pengelolaan yang efektif sangat membutuhkan penegakan aturan. Pelanggar aturan pengelolaan harus menerima sanksi secara adil. Penegakan aturan pengelolaan juga harus dijalankan secara konsisten sehingga aturan pengelolaan memiliki wibawa. Jika aturan pengelolaan tidak dapat dijalankan, maka hal ini tidak bebeda dengan kondisi tanpa pengeloaan. Kesadaran masyarakat untuk menegakkan aturan pengelolaan memang sangat penting, karena di laut kita tidak dapat mengandalkan aparat penegak hukum formal.

Proyek PEMSEA di Bali, mendapatkan keuntungan besar dalam hal ini. Masyarakat Bali memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap masyarakat adatnya (banjar) sehingga melanggar kesepakatan masyarakat merupakan sebuah tabu. Pelanggar kesepakatan banjar biasanya langsung dapat dikenai sanksi. Sanksi untuk sebuah pelanggaran yang berat dapat berupa pengeluaran pelanggar dari adat banjar. Pengucilan dari banjar ini berdampak sangat besar, misalnya kematian si pelanggar tidak lagi diurus oleh banjar sehingga tidak ada upacara agama untuk kematiannya.

Dengan kondisi sosial yang memiliki tingkat kohesi tinggi, maka keberhasilan Proyek PEMSEA di Bali akan sulit ditiru di lokasi lain di Indonesia. Masyarakat Lombok yang memiliki budaya mirip dengan Bali berpotensi dapat mencapai kesuksesan yang kurang lebih sama walaupun kohesi sosial masyarakat Lombok lebih longgar. Proyek Co-Fish pernah menggunakan pendekatan ICM di Lombok Timur, tetapi tidak diundang dalam diskusi ini.

Proyek Pesisir mencoba mendekati penegakan aturan pengelolaan melalui Perdes dan Perda. Ini merupakan pendekatan yang dapat diimitasi secara nasional jika berhasil dengan baik. Sayangnya, Pak Dietriech tidak memberikan deskripsi tentang bagaimana efektivitas pengelolaan di Proyek Pesisir. Proyek COREMAP, MFCDP dan MCRMP juga menggunakan paradigma yang sama. Di dalam diskusi, sayangnya, Proyek PEMSEA tidak mengelaborasi pendekatan ini sehingga belum jelas bagi peserta.

Pada umumnya Perda tidak secara serius diimplentasikan di Indonesia. Dalam Era Reformasi banyak sekali Perda dibuat oleh kabupaten atau propinsi, tetapi implementasinya biasanya sangat rendah. Hanya Perda yang berkaitan dengan retribusi daerah yang dilaksanakan. Perda Miras dan Perda Anti Maksiat, misalnya, telah dibuat di banyak kabupaten tetapi hampir tidak pernah diimplementasikan, atau hanya sekali menjelang bulan Ramadlan. Apalagi jika ada Perda Pengelolaan Pesisir yang lebih jauh jaraknya dari kehidupan ekonomi dan agama masyarakat kota kabupaten. Penggunaan Perdes dalam pengelolaan pesisir juga menyisakan pertanyaan untuk kawasan teluk yang digunakan oleh masyarakat dari dua desa atau lebih.

Pak Jamal juga mengkhawatirkan tentang penegakan aturan pengelolaan di wilayah COREMAP. Kekhawatiran tersebut memang sangat beralasan jika kita mengandalkan penegakan aturan oleh polisi atau aparat pemerintah lainnya. Tetapi jika penegakan aturan itu dilaksanakan oleh masyarakat di desa itu sendiri, maka ada harapan bahwa aturan pengelolaan masih dapat berjalan. Sebaiknya masyarakat tidak diminta menangkap pelanggar aturan pengelolaan dan menyerahkannya kepada polisi. Di banyak daerah kepercayaan masyarakat pada ”cinta sejati” polisi sangat rendah. Polisi juga sangat terikat dengan hukum formal yang mensyaratkan adanya bukti dan saksi yang cukup. Kebanyakan kasus pelanggaran aturan pengelolaan pesisir tidak didukung oleh bukti dan saksi yang cukup. Perda tentang Pengelolaan Perikanan Secara Partisipatif di Lombok Timur menyediakan alternatif dalam penegakan aturan pengelolaan, yang berbeda dari lokasi Proyek Pesisir dan COREMAP.



Sayangnya koordinasi dari bahasa Inggris

Di dalam pengelolaan pesisir terpadu (ICM), koordinasi merupakan komponen yang paling penting. Hanya dengan koordinasi kita dapat mencapai suatu keterpaduan antar sektor. Pada pengelolaan pesisir, sektor-sektor utama yang harus dipadukan programnya meliputi sektor-sektor perikanan, perhubungan, pariwisata, dan pertambangan.

Pak Eko dari Proyek MCRMP menyatakan bahwa ketika tidak ada sektor, maka keterpaduan mudah dicapai. Sebaliknya ketika sektor mulai muncul, maka keterpaduan merupakan barang yang susah sekali didapatkan. Di tingkat desa, kita lebih mudah untuk membangun keterpaduan daripada di tingkat kabupaten. Tampaknya ada kecenderungan semakin tinggi tingkatan birokrasi, keterpaduan menjadi semakin langka. Tidak mengherankan jika Dewan Maritim Nasional yang memiliki misi sangat besar menjadi lembaga yang mati suri (seperti lembaga yang dibentuk proyek), karena membutuhkan koordinasi dari sejumlah kementerian.

Koordinasi juga bukan kata yang asli dari bahasa Indonesia, melainkan kata jadian yang berasal dari bahasa Inggris. Pak Luky secara berkelakar mengatakan hal ini untuk menghibur dan menyadarkan hadirin bahwa kita memang tidak memiliki budaya koordinasi. Tetapi budaya terus berkembang, demikian juga budaya kita dalam koordinasi.

Koordinasi sulit dilaksanakan dengan baik, saya kira, karena menyangkut siapa yang mendapat proyek. Adanya proyek dari suatu koordinasi berarti ada uang ekstra yang masuk ke saku pejabat di sektor yang mengelola proyek, sehingga koordinasi dianggap hanya menguntungkan sektor tertentu dan merugikan sektor yang lain karena hanya jadi penonton. Akan berbeda jika suatu proyek tidak menghasilkan uang ekstra bagi pejabat, sehingga semua peserta koordinasi hanya memikirkan tujuan dari koordinasi tersebut. Tidak ada kecemburuan sosial. Sayangnya, hal ini masih sebagai mimpi di negeri ini.



Roma tidak dibangun dalam satu hari

Yang paling penting dari diskusi tersebut adalah kita menyadari bahwa kita belum memiliki suatu contoh ”best practice” dari ICM di Indonesia. Kita sekarang sangat membutuhkan contoh tersebut, dan harus dapat mewujudkannya sebelum generasi kita digeser oleh generasi berikutnya. Kita harus mampu mewariskan minimal sebuah ”best practice”. Tekad seperti ini tidak dapat muncul setiap hari, sehingga harus segera ditindaklanjuti sebelum menjadi layu atau terkubur dengan kesibukan rutin sekolah pascasarjana.

Sebagai tindak lanjut dari tekad tersebut, PKSPL bersama Wacana Pesisir perlu mengkomunikasikan hal ini kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kita juga perlu mengambil langkah pertama ke arah sana, yaitu mengidentifikasi sejumlah kabupaten yang sedang atau pernah menjadi lokasi proyek di pesisir yang potensial dikembangkan untuk menjadi contoh ”best practice” ICM. PKSPL dan Wacana Pesisir sebaiknya jangan fanatik terbatas pada proyek yang dekat dengan PKSPL IPB seperti yang didiskusikan hari ini, tetapi sebaiknya juga menengok proyek lain yang menginisiasi pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir, misalnya Co-Fish Project dari Ditjen Perikanan Tangkap.

Kekurangan-kekurang an dari implementasi proyek yang lalu sebaiknya dapat dikaji secara ilmiah dan dipaparkan secara jujur agar menjadi pelajaran bagi kita semua. Memang agak sulit atau bahkan agak tabu untuk menceritakan semua kekurangan kita, sedangkan yang paling tahu kekurangan kita adalah kita sendiri. Tetapi hanya dengan belajar dari kekurangan-kekurang an tersebut kita dapat mengimplementasikan proyek ICM lebih baik.

Pak Dietriech telah menyebarkan banyak optimisme dan kegairahannya kepada kita. Di dalam kondisi Indonesia yang sering dianggap terpuruk ini, kita masih dapat melakukan inisiasi dan implementasi ICM, asalkan kita masih memiliki cinta sejati yang menggebu pada sumberdaya pesisir. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Kita juga tidak berharap dapat membangun ICM dalam satu dasawarsa. Jejak-jejak kecil yang telah ditorehkan dalam perjalanan akan menjadi bagian dari sejarah perkembangan ICM di Indonesia. Kegagalan yang telah kita alami bukanlah sesuatu yang tidak berarti, tetapi akan menjadi modal pengalaman yang sangat penting untuk meraih keberhasilan di masa depan.

Mari kita ekspresikan cinta sejati kita untuk sumberdaya pesisir bukan hanya terbatas dalam kata-kata. ”Semua bisa bilang sayang, apalah artinya cinta tanpa kenyataan”, demikian kata sebuah lagu. Mari kita bangun bersama ICM di Indonesia.



Bogor, 12 Januari 2008

Rabu, Februari 20, 2008

COREMAP II Berpartisipasi dalam Deep Indonesia 2008

Penyadaran Masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam Program COREMAP II. Upaya penyadaran masyarakat dilakukan diantaranya melalui sosialisasi dan diseminasi informasi kepada masyarakat, salah satunya melalui PAMERAN. Sejak DEEP Indonesia yang pertama digelar pada tahun 2007, COREMAP II telah berpartisipasi dalam ajang pameran terbesar di Indonesia yang mengexsplor potensi bawah laut ini. Ajang Deep Indonesia kembali digelar pada tahun 2008 dengan event yang lebih spektakuler. Pameran yang bertajuk Deep Indonesia 2008 akan digelar pada tanggal 28 - 30 Maret 2008 di Jakarta Convention Center. DEEP Indonesia 2008 is the only international Diving, Adventure Travel and Water Sports exhibition to be held in Indonesia and it will be a spectacular opportunity for business networking and environmental .

Coremap II kembali berpartisipasi dalam kegiatan pameran tersebut dengan menempati stand pameran seluas 36 m2 yang terintegrasi pada booth Departemen Kelautan dan Perikanan, yaitu pada blok A7. Beberapa rangkaian kegiatan yang turut menyemarakkan stand COREMAP II, antara lain: (1) Talk Show dengan tema “The Beauty of Coral Reef” tanggal 29 Maret 2008. (2) Workshop Pemerhati Terumbu Karang dengan tema “Ekowisata Bahari Bergantung pada Terumbu Karang” tanggal 28 Maret 2008. (3) Lomba Menggambar dan Mewarnai untuk anak-anak. (4) Lomba poster digital untuk mahasiswa, dan berbagai aktivitas lainnya yang sangat meriah.

COREMAP II bekerjasama dengan media elektronik dan cetak untuk meliput kegiatan dimaksud. Kegiatan publikasi dan sosialisasi tentang pengelolaan terumbu karang tersebut sekaligus turut mensukseskan Tahun Terumbu Karang Internasional (International Year of The Reef 2008/IYOR 2008). Coremap II telah melakukan koordinasi dengan panitia penyelenggara Deep Indonesia untuk dapat mengalokasikan waktu untuk peluncuran IYOR 2008 INDONESIA pada acara pembukaan. Peluncuran tersebut rencananya akan dilakukan oleh Bapak Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Selasa, Februari 19, 2008

Korelasi tutupan terumbu karang VS populasi Diadema Setosum (by: Imam Bachtiar)

sebagaimana ditulis oleh ImamBachtiar pada mailing list: coremap2@yahoogroups.com

Hubungan antara Diadema antillarum dengan terumbu karang sudah dilaporkan orang sejak tahun 1980, terutama di kawasan Karibia. Coba cari Hughes (1994?), Sammarco (198x?), dan banyak paper yang baru. Bahkan Diadema dengan komunitas karang selalu diacu di dalam paper tentang resiliensi terumbu karang, herbivory di terumbu karang, persaingan alga-karang, keystone species dan sebagainya. Ratusan paper menggunakan ruujukan kepada hubungan Diadema dengan karang di Karibia.
Sebagian dari fakta yang ada sebagaimana pada tiga paragraf tulisan saya yang terpisah-pisah berikut:

"Tidak semua spesies yang penting di dalam komunitas merupakan keystone predator. Bulu babi Diadema antillarum di Karibia yang merupakan herbivora pemakan makroalga di komunitas terumbu karang dinyatakan sebagai keystone spcesies oleh Nystrom et al. (2000). Makroalga merupakan pesaing utama karang dalam memperebutkan sumberdaya ruang (radiasi matahari). Ketika populasi ikan herbivora menurun drastis akibat penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), bulu babi D. antillarum menggantikan peran ikan herbivora dalam mengendalikan populasi makroalga. Pada kondisi ini komunitas terumbu karang masih stabil. Kematian massal D. antillarum akibat penyakit mengakibatkan berubahnya komunitas terumbu karang. Karang yang dominan pada komunitas tersebut kalah bersaing dengan alga yang tumbuh jauh lebih cepat sehingga komunitas terumbu karang didominasi oleh makroalga."

"Dampak kedua ini dapat dikendalikan secara homeostatis jika keanekaragaman hayati di terumbu karang tersebut tinggi. Secara alami, peningkatan biomassa makroalga akan memicu pertumbuhan populasi herbivoraa sehingga dominansi makroalga atas karang dapat dikendalikan. Tetapi semua ikan herbivoraa, sayangnya, merupakan biota yang dikonsumsi oleh masyarakat pesisir. Jika terjadi penangkapan ikan herbivoraa yang berlebihan, maka karang masih memiliki bantuan yang kedua yaitu bulu babi (Echinoidae) . Bulu babi merupakan herbivora yang penting dalam mengendalikan kelimpahan makroalga. Tetapi jika kelompok bulu babi pemakan makroalga ini juga sudah habis karena gangguan yang lain, misalnya polusi atau penyakit tertentu, maka terjadilah skenario pergantian komunitas (phase shift) dari didominansi oleh karang menjadi didominasi oleh makroalga. "

"Pentingnya kelimpahan ikan herbivora yang merumput alga dalam mempertahankan dominansi karang didemonstrasikan oleh Hughes et al. (2007). Pada terubu karang yang ikan herbivoranya dihalangi merumput alga dengan suatu kurungan, komunitas di terumbu karang tersebut secara perlahan didominasi oleh alga. Tetapi di lokasi yang tidak diberi kurungan, dimana ikan herbivoraa dapat merumput alga, dominansi komunitas karang tidak berubah bahkan semakin meningkat. Ledlie et al (2007) melaporkan bahwa di Cousin Island Marine Protected Area (Seychele) terjadi perubahan komunitas (phase shift) dari komunitas karang ke komunitas alga, pasca pemucatan karang 1997. Ditemukan bahwa peningkatan biomassa alga tidak diikuti oleh peningkatan biomassa ikan herbivora, sehingga dominansi alga tidak dapat dihindarkan. Diduga hilangnya kompleksitas habitat menyebabkan rendahnya kelimpahan ikan herbivora, sehingga komunitas karang diperkirakan tidak dapat kembali lagi secara alami. "

Semoga ada manfaatnya.

salam,
Imam

Senin, Februari 18, 2008

midterm review ADB


Selama kurang lebih 2 (dua) minggu, yaitu tanggal 11 - 27 pebruari 2008. Tim ADB melaksanakan misi dalam rangka evaluasi tengah program untuk kegiatan Coral Reef Rehabilitation and Management Project Phase II (COREMAP II). Misi ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan capaian program serta mengevaluasi kinerja untuk perbaikan pelaksanaan program selanjutnya. Tim ADB, terdiri dari: Mr. Muhammad Nasimul Islam (Team Leader), Mr. Homer Taylor, dan Mrs. Corazon Arogon.
sebagai rangkaian dari Misi tersebut, Tim melaksanakan kunjungan ke lokasi program, diantaranya: Kabupaten Natuna (Sepempang dan Pulau Tiga) dan Kota Batam (Karas).
Semoga Misi ini memperoleh hasil yang optimal untuk perbaikan program.

Selasa, Januari 29, 2008

Sinkronisasi Penyusunan Program COREMAP II

memasuki tahun anggaran baru, segenap pengelola program COREMAP II Pusat dan Daerah, baik wilayah Barat (ADB) maupun wilayah Timur (WB) melaksanakan pertemuan selama 4 hari di Jakarta, 30 Januari - 2 Pebruari 2008. kegiatan ini diharapkan mampu mensinkronkan program yang telah disusun antara pusat dan daerah guna mengoptimalkan pencapaian tujuan dan sasaran yang diharapkan dari program COREMAP II.
Pertemuan ini juga menjadi sarana evaluasi program tahun 2007, pemantapan kegiatan 2008 dan perencanaan tahun 2009.
Sukses...

Jumat, Januari 04, 2008

Status of and Threat to Coral Reefs

sources: ICRI (http://www.iyor.org/reefs/status.asp)
Status of and Threat to Coral Reefs
How come they are in danger?
So what are the different things we are doing to damage coral reefs?
How are corals affected by climate change?
What other things are damaging coral reefs?

--------------------------------------------------------------------------------

How come they are in danger?
The majority of reef loss or damage is not deliberate. Coral reefs are being degraded by an accumulation of stresses arising from human activities. In simple terms, stresses can be grouped by the actions of people extracting material from, and placing materials upon, coral reefs. Over-fishing, pollution and coastal development top the list of chronic stressors. In many situations chronic stresses are overwhelming the resilience, (or the capacity for self-repair), of reef communities. Some coral reefs are covered with sand, rock and concrete to make cheap land and stimulate economic development. Others are dredged or blasted for their limestone or to improve navigational access and safety. In addition to this, long-term changes in the oceans and atmosphere (rising sea temperatures and levels of CO2), and acute stresses from highly variable seasons, severe storms, earthquakes and volcanic eruptions also affect coral reefs.

TOP

So what are the different things we are doing to damage coral reefs?
Over-fishing: Increasing demand for food fish and tourism curios has resulted in over fishing of not only deep-water commercial fish, but key reef species as well. Over-fishing of certain species near coral reefs can easily affect the reef's ecological balance and biodiversity. For example, over-fishing of herbivorous fish can also lead to high levels of algal growth. From subsistence level fishing to the live fish trade, inadequate fisheries management is forcing the decline of fish stocks. Choose seafood products that come from certified, well-managed and sustainable fisheries. Certified products are available at most supermarkets - check out the product label, or visit: www.fishonline.org
Destructive fishing methods: Fishing with dynamite, cyanide and other methods that break up the fragile coral reef are highly unsustainable. Dynamite and cyanide stun the fish, making them easier to catch. Fishermen say they have no other option if they are to compete with trawlers and overcome a smaller supply of fish because of previous over-fishing. These practices generally do not select or target particular fish species and often result in juveniles being killed in the process. Damaging the coral reef habitat on which the fish rely will also reduce the productivity of the area, with further impacts on the livelihoods of fishermen.
Unsustainable tourism: Tourism generates vast amounts of income for host countries. Where unregulated however, tourism pressures can cause damage to the very environment upon which the industry depends. Physical damage to the coral reefs can occur through contact from careless swimmers, divers, and poorly placed boat anchors. Hotels and resorts may also discharge untreated sewage and wastewater into the ocean, polluting the water and encouraging the growth of algae, which competes with corals for space on the reef.
Coastal development: The growth of coastal cities and towns generates a range of threats to nearby coral reefs. Where space is limited, airports and other construction projects may be built on land reclaimed from the sea. Sensitive habitats can be destroyed or disturbed by dredging activities to make deep-water channels or marinas, and through the dumping of waste materials. Where land development alters the natural flow of water, greater amounts of fresh water, nutrients and sediment can reach the reefs causing further degradation. Within the last 20 years, once prolific mangrove forests, which absorb massive amounts of nutrients and sediment from runoff caused by farming and construction, have been destroyed. Nutrient-rich water causes fleshy algae and phytoplankton to thrive in coastal areas in suffocating amounts known as algal blooms. Coral reefs are biological assemblages adapted to waters with low nutrient content, and the addition of nutrients favours species that disrupt the balance of the reef communities.
Pollution: Coral reefs need clean water to thrive. From litter to waste oil, pollution is damaging reefs worldwide. Pollution from human activities inland can damage coral reefs when transported by rivers into coastal waters. Do your bit - do not drop litter or dispose of unwanted items on beaches, in the sea, or near storm drains.
Global Aquarium Trade: It is estimated that nearly 2 million people worldwide keep marine aquariums. The great majority of marine aquaria are stocked with species caught from the wild. This rapidly developing trade is seeing the movement of charismatic fish species across borders. Threats from the trade include the use of cyanide in collection, over-harvesting of target organisms and high levels of mortality associated with poor husbandry practices and insensitive shipping. Some regulation is in place to encourage the use of sustainable collection methods and to raise industry standards.
TOP

How are corals affected by climate change?
Coral Bleaching: Coral bleaching occurs when the symbiosis between corals and their symbiotic zooxanthellae breaks down, resulting in the loss of the symbionts and a rapid whitening of the coral host (thus the term "bleaching"). This is a stress response by the coral host that can be caused by various factors, but more severe and frequent cases are being caused by a rise in sea surface temperature (SSTs). If the temperature decreases, the stressed coral can recover; if it persists, the affected colony can die.
The impacts from coral bleaching are becoming global in scale, and are increasing in frequency and intensity. Mass coral bleaching generally happens when temperatures around coral reefs exceed 1oC above an area's historical norm for four or more weeks. Sea surface temperature increases have been strongly associated with El NiƱo weather patterns. However, light intensity, (during doldrums, i.e. flat calm conditions), also plays a critical role in triggering the bleaching response. If temperatures climb to more than 2o C for similar or longer periods, coral mortalities following bleaching increase.

Mass coral bleaching was not documented in the scientific literature before 1979; however, significant mass bleaching events have since been reported in 1982, 1987, 1992 and the strongest sea surface warming event ever recorded occurred in 1998, where an estimated 46% of corals in the western Indian Ocean were heavily impacted or died. In 2005 sea surface temperatures in the Caribbean were the highest reported in more than 100 years, and there was also significant coral bleaching following this warming. This year, coral bleaching is being reported in several locations around the world. If sea surface temperatures continue to rise, then the frequency and severity of coral bleaching will also increase, likely affecting the ability of coral reefs, as we have known them, to adapt and to provide many of the services that people rely upon.

Rising sea levels: Observations since 1961 show that the average temperature of the global ocean has increased even at depths of 3000m (IPCC report), and that the ocean has been absorbing more than 80% of the heat added to the climate system. Such warming causes sea level rise and creates problems for low lying nations and islands.
Ocean Acidification: This is the name given to the ongoing decrease in the pH of the Earth's oceans, caused by their uptake of anthropogenic carbon dioxide from the atmosphere. Although the natural absorption of CO2 by the world's oceans helps mitigate the climatic effects of anthropogenic emissions of CO2, it is believed that the resulting decrease in pH, (i.e. making the water acidic), will have negative consequences, primarily for oceanic calcifying organisms such as coral reefs.
TOP

What other causes are damaging coral reefs?
Coral Disease: During the last 10 years, the frequency of coral disease appears to have increased dramatically, contributing to the deterioration of coral reef communities around the globe. Most diseases occur in response to the onset of bacteria, fungi, and viruses. However, natural events and human-caused activities may exacerbate reef-forming corals' susceptibility to waterborne pathogens.
More information is needed to identify the mechanisms by which most diseases kill their hosts, and how they are transmitted. The onset of coral disease has been shown to spread following coral bleaching events, so the evidence of a connection between warmer-than-normal water and coral disease is growing stronger. There is also evidence to indicate that low water quality increases incidence. It is critical that governments and managers continue their efforts to reduce (or stop) the effects of other major reef threats (sediments, pesticides, nutrients, over-fishing, etc.) while this scientific information is gathered, if we are to give coral reefs a fighting chance of survival.

Crown of Thorns Starfish (COTs): The Crown of Thorns Starfish is a voracious coral reef predator. Populations of the COTs have increased since the 1970s and large outbreaks of starfish can occur wiping out huge tracks of coral reef. Few animals in the sea are willing to attack the spiny and toxic crown-of-thorns starfish, but some shrimp, worms and species of reef fish do feed on larvae or small adults. The decline of these predators, through over-harvesting and pollution, is one factor contributing to the rise in the population of the starfish.
Alien invasive species: Species that, as a result of human activity, have been moved, intentionally or unintentionally, into areas where they do not occur naturally are called "introduced species" or "alien species". In some cases where natural controls such as predators or parasites of an introduced species are lacking, the species may multiply rapidly, taking over its new environment, often drastically altering the ecosystem and out-competing local organisms. The damage caused by invasive species can be devastating, through alteration of ecosystem dynamics, biodiversity loss, reduction of the resilience of ecosystems, and loss of resources, with environmental, economic as well as socio-cultural impacts.
TOP