Healthy REEFs abundant FISH

Generate Your Own Glitter Graphics @ GlitterYourWay.com - Image hosted by ImageShack.us

Selasa, Desember 18, 2007

Kebijakan Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan

Terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, dan padang lamun. Karenanya, kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya Undang-undang nomor 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Kaitannya dengan desentralisasi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Sedangkan Payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, pada tahun 2007 telah di undangkan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai peraturan organik dari UU 31 tahun 2004. Melalui Peraturan Pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan termasuk terumbu karang dapat terwadahi.

Rabu, Desember 12, 2007

UNDANG-UNDANG NO. 27 tahun 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Dasar Pemikiran

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas Orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain.

Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



2. Tujuan penyusunan Undang-Undang ini adalah:

a. menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;

b. membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta

c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.



3. Ruang Lingkup

Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Lingkup pengaturan Undang-Undang ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, dengan uraian sebagai berikut :



a. Perencanaan

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut.

Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.



b. Pengelolaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan sebagai berikut:

1. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait.

2. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

3. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.

4. Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.



Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi meningkatnya kerusakan Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat.



Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.



c. Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:

1. mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;

2. mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;

3. memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.

4. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

Undang-Undang ini mempunyai hubungan saling melengkapi dengan undang-undang lain seperti:

a. undang-undang yang mengatur perikanan;

b. undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah;

c. undang-undang yang mengatur kehutanan;

d. undang-undang yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan gas bumi;

e. undang-undang yang mengatur penataan ruang;

f. undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup;

g. undang-undang yang mengatur pelayaran;

h. undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam dan ekosistem;

i. undang-undang yang mengatur peraturan dasar pokok agraria;

j. undang-undang yang mengatur perairan;

k. undang-undang yang mengatur kepariwisataan;

l. undang-undang yang mengatur perindustrian dan perdagangan;

m. undang-undang yang mengatur sumber daya air;

n. undang-undang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional; dan

o. undang-undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Undang-Undang ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan oleh berbagai sektor terkait. Dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan

UNDANG-UNDANG NO. 27/2007 selengkapnya, silahkan KLIK DISINI

Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan

Upaya konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Pemerintah republik indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan. diundangkannya peraturan pemerintah ini memperkuat payung hukum kebijakan dalam bidang kelautan dan perikanan.

PP 60/2007 selengkapnya, silahkan klik disini