Healthy REEFs abundant FISH

Generate Your Own Glitter Graphics @ GlitterYourWay.com - Image hosted by ImageShack.us

Selasa, Desember 18, 2007

Kebijakan Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan

Terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, dan padang lamun. Karenanya, kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya Undang-undang nomor 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Kaitannya dengan desentralisasi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Sedangkan Payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, pada tahun 2007 telah di undangkan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai peraturan organik dari UU 31 tahun 2004. Melalui Peraturan Pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan termasuk terumbu karang dapat terwadahi.

Rabu, Desember 12, 2007

UNDANG-UNDANG NO. 27 tahun 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Dasar Pemikiran

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas Orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain.

Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



2. Tujuan penyusunan Undang-Undang ini adalah:

a. menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;

b. membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta

c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.



3. Ruang Lingkup

Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Lingkup pengaturan Undang-Undang ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, dengan uraian sebagai berikut :



a. Perencanaan

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut.

Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.



b. Pengelolaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan sebagai berikut:

1. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait.

2. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

3. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.

4. Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.



Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi meningkatnya kerusakan Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat.



Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.



c. Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:

1. mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;

2. mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;

3. memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.

4. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

Undang-Undang ini mempunyai hubungan saling melengkapi dengan undang-undang lain seperti:

a. undang-undang yang mengatur perikanan;

b. undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah;

c. undang-undang yang mengatur kehutanan;

d. undang-undang yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan gas bumi;

e. undang-undang yang mengatur penataan ruang;

f. undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup;

g. undang-undang yang mengatur pelayaran;

h. undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam dan ekosistem;

i. undang-undang yang mengatur peraturan dasar pokok agraria;

j. undang-undang yang mengatur perairan;

k. undang-undang yang mengatur kepariwisataan;

l. undang-undang yang mengatur perindustrian dan perdagangan;

m. undang-undang yang mengatur sumber daya air;

n. undang-undang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional; dan

o. undang-undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Undang-Undang ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan oleh berbagai sektor terkait. Dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan

UNDANG-UNDANG NO. 27/2007 selengkapnya, silahkan KLIK DISINI

Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan

Upaya konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Pemerintah republik indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan. diundangkannya peraturan pemerintah ini memperkuat payung hukum kebijakan dalam bidang kelautan dan perikanan.

PP 60/2007 selengkapnya, silahkan klik disini

Kamis, November 08, 2007

LOKAKARYA (Inisiatif Pengelolaan Perdagangan ikan Karang berkelanjutan)

COREMAP II akan menyelenggarakan Lokakarya dalam rangka mendukung pelaksanaan Marine Market Transformation Initiative (MAMTI).... lokakarya yang akan dilaksanakan selama 3 hari pada pertengahan november di Jakarta.
lokakarya diikuti oleh dinas dan instansi terkait, perguruan tinggi, lsm serta pihak yang berhubungan langsung dengan market ikan karang.
kegiatan ini diharapkan tercapai komitmen berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pengelolaan ikan karang yang berkelanjutan.

KONSULTASI REGIONAL COREMAP II - (ADB & WB)

Pada tanggal 11 - 14 November 2007, akan diselenggarakan konsultasi regional coremap II.
acara ini merupakan forum bagi pengelola coremap II di pusat dan daerah guna membahas perkembangan kegiatan, permasalahan dan upaya tindak lanjutnya.
kegiatan akan di laksanakan di jakarta

Rabu, September 19, 2007

DEKLARASI ANCOL

DEKLARASI ANCOL
Tentang
Penyelamatan Terumbu Karang Indonesia


Indonesia terletak pada pusat segitiga karang dunia (The Coral Triangle) yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi, merupakan potensi ekonomi yang sangat besar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, sumberdaya tersebut pada saat ini mendapatkan tekanan yang sangat tinggi sehingga berada pada kondisi yang mengkhawatirkan dimana hanya kurang lebih 30% dalam kondisi baik dan 70% dalam kondisi kurang baik.

Untuk menyelamatkan terumbu karang Indonesia yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Pemurah, maka Kami segenap masyarakat Indonesia bersama-sama dengan Pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya menyatakan komitmen yang kuat untuk :

(1) Mengelola potensi sumberdaya terumbu karang dengan menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan untuk mendukung pembangunan daerah dan nasional serta menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia;

(2) Berperan aktif melakukan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya terumbu karang dalam mewujudkan keseimbangan ekosistem perairan lokal, regional dan global serta keanekaragaman hayati perairan;

(3) Berperan aktif mendorong proses pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum atas tindakan-tindakan yang mengancam serta merusak sumberdaya terumbu karang, dan;

(4) Mendorong terbangunnya kemitraan dan jaringan kerja dalam kerangka membangun sistem pengelolaan efektif, peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia, serta pengembangan sains dan teknologi untuk mendukung pengelolaan sumberdaya terumbu karang berkelanjutan di Indonesia.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melindungi dan membimbing kami dalam melaksanakannya sesuai dengan kapasitas dan wewenang masing-masing.

Ancol, 10 September 2007

Senin, September 17, 2007

RUMUSAN WORKSHOP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN JARINGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT (Marine Conservation Area)

Hotel SPARK, 9-10 Agustus 2007

· Pertemuan ini bertujuan untuk: (1) Mengkoordinasikan rancangan kebijakan/pedoman bagi daerah sebagai arahan pencapaian output dan (2) Melakukan sinkronisasi program penguatan kelembagaan dan pengembangan KKL
· Posisi kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang sangat erat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terutama di bidang konservasi.
· Persamaan persepsi target kawasan konservasi laut, jejaring KKL dan implementasinya (di lokasi Coremap) serta arahan langkah-langkah daerah dalam mengembangkan KKLD berbasis terumbu karang:
a. Perencanaan untuk jejaring kawasan konservasi laut (MCA Networks) dilakukan di tingkat provinsi, sedangkan pengembangan kawasan konservasi laut dilakukan di tingkat kabupaten.
b. Tujuan utama dari pengembangan jejaring KKL (MCA Networks) adalah mewujudkan perikanan yang berkelanjutan. Selain itu, tujuan lainnya adalah di bidang jasa: pelayanan ekosistem utamanya pariwisata dan konservasi keanekaragaman hayati
c. Wilayah pengembangan jejaring KKL (MCA Networks) diuatamakan pada habitat di perairan pesisir (khususnya terumbu karang, mangrove dan padang lamun)
d. Target pencapaian 10% (sepuluh persen) terumbu karang kabupaten menjadi no take zone, dapat dipenuhi dari: (1) Daerah Perlindungan Laut (DPL); (2) zona inti KKLD/MCAs; dan (3) zona inti, zona bahari, zona pemanfaatan wisata di dalam kawasan konservasi laut yang ditetapkan PHKA.
e. Target pengembangan kawasan konservasi laut (DPL, KKP/KKLD, kawasan konservasi laut yang dikelola PHKA) adalah 10 (sepuluh) juta hektar pada tahun 2010 dan 20 (dua puluh) juta hektar pada tahun 2020.
· Pemahaman terhadap strategi konservasi keanekaragaman hayati di KKL dan pengelolaan perikanan berkelanjutan serta Langkah-langkah strategis penyiapan pengelolaan perikanan berkelanjutan di lokasi COREMAP:
a. Strategi utama konservasi keanekaragaman hayati laut (Grand Strategy Marine Biodiversity Conservation/MBC) disusun dengan dasar pemikiran: (1) mengetahui jumlah jenis keanekaragaman hayati laut; (2) mengetahui jumlah kelimpahan; dan (3) melindungi jenis yang unik, langka dan endemic.
b. Jejaring kawasan konservasi laut merupakan salah satu upaya pengelolaan konservasi (management conservation).
c. Pengelolaan perikanan berkelanjutan merupakan bagian dari pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati laut.
d. Pengelolaan perikanan berkelanjutan perlu memperhatikan, mengimplementasikan dan memadukan: (1) manajemen konservasi sumberdaya laut/ikan; dan (2) manajemen penanganan perikanan untuk perdagangan.
e. Melalui upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan diharapkan misi, tujuan dan strategi konservasi keanekaragaman hayati laut dapat terwujud.
· Finaliasasi Pedoman Penyusunan Renstra Pengelolaan Terumbu Karang sebagai bahan sosialisasi ke Daerah:
a. Penyusunan renstra, judul renstra dalam PAD (renstra sumberdaya laut daerah) disesuaikan menjadi Renstra Pengelolaan Terumbu Karang Daerah
b. Dasar penyusunan RENSTRA adalah KepMen 38/Men/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang, masih dapat digunakan walaupun payung hukum acuan penyusunan kepmen tersebut sudah diubah, namun karena isi Kepmen tersebut adalah universal dan netral karena bersumber pada ilmu pengetahuan. Penyusunan Renstra juga mengacu kepada UU 31/2004, UU 32/2004 dan UU 27/2007
c. Pedoman umum RENSTRA dapat diadopsi oleh daerah/PMU sesuai dengan spesifikasi/kondisi daerah
d. Pedoman umum penyusunan RENSTRA segera diperbaiki sesuai masukan workshop agar dapat dikirimkan ke daerah dan disosialisasikan
· Finaliasasi Pedoman Penyusunan PERDA dan PERDES tantang Pengelolaan Terumbu Karang:
a. Penyempurnaan materi muatan PERDA tentang PENGELOLAAN TERUMBU KARANG akan segera dilakukan dan disusun dalam pedoman penyusunan PERDA yang akan disosialisasikan kedaerah sebagai target tahun 2008.
b. Daerah yang sedang menyusun Ranpeda Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, agar muatan nya diperkaya tentang PENGELOLAAN TERUMBU KARANG, dan tetap mengacu kepada UU 27/2007.
c. Bagi daerah yang telah memiliki PERDA PWP&PPK, supaya menyusun peraturan Bupati khususnya tentang Pengelolaan Terumbu Karang (substansi tertentu).
d. Pengenaan SANKSI dalam Peraturan Desa harus hati-hati dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
e. Hukum yang tidak tertulis mengenai kearifan lokal/masyarakat adat tidak perlu dibuat aturan hukum (tidak perlu ditulis kembali dalam perundangan), cukup diakui keberadaannya (pengakuannya dapat dituangkan dalam satu pasal dan atau keputusan bupati).
f. Bahasa yang digunakan dalam penyusunan PERDES diupayakan sederhana dan mudah dimengerti masyarakat.
g. PERDES berlaku untuk siapa saja di wilayah desa dimana peraturan tersebut diundangkan.
h. Peraturan Lurah tidak ada, karena kelurahan bukan merupakan daerah otonom. Kelurahan merupakan perangkat dari wilayah kota. Keputusan terkait dengan wilayah kelurahan, menjadi keputusan Kepala Daerah Kabupaten/kota wilayah tersebut.
i. Pedoman umum dan Prototype PERDES segera diperbaiki sesuai masukan workshop
· Pembahasan materi muatan RANPERPRES tentang Pengelolaan Terumbu Karang
a. Ranperpres mengenai terumbu karang pada posisi saat ini sudah tidak diperlukan lagi, dan cukup hanya diperbaiki menjadi peraturan menteri yang baru (referensi undang-undang 31/2004 tentang Perikanan dan UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ps. 28 ayat 1 dan 6))
b. Pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah provinsi/kabupaten/desa, pada UU no. 5 tahun 1990 belum diatur. Namun pada undang-undang 32/2004 secara jelas diatur kewenangan daerah untuk mengelola kawasan konservasi
c. Penetapan kawasan konservasi dilakukan oleh menteri.
d. Perlu langkah-langkah strategis untuk percepatan penyusunan PERMEN.

Selasa, Agustus 28, 2007

KepMen 38/MEN/2004... Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang

KEPUTUSAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
NOMOR : KEP.38/MEN/2004
TENTANG
PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

Menimbang
:
a.
bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya merupakan kekayaan alam bernilai tinggi, sehingga diperlukan pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;


b.
bahwa guna mengatasi kerusakan terumbu karang, perlu dilakukan rehabilitasi biota karang melalui pengelolaan terumbu karang secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan;


c.
bahwa untuk itu perlu ditetapkan Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang dengan Keputusan Menteri;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;


2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;


3.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;


4.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;


5.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;


6.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;



7.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;


8.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Pengendalian dan atau Perusakan Laut;


9.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan;


10.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001;


11.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004;


12.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tugas Unit Eselon I Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2004;


13.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Teknik dan Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;


14.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan;



MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG.


PERTAMA : Memberlakukan Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Pedoman Umum sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan.



KETIGA : Pelaksanaan lebih lanjut Pedoman Umum ini, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan terumbu karang.
KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2004
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,




ROKHMIN DAHURI

Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi



Narmoko Prasmadji



Lampiran : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor : KEP.38/MEN/2004
Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu
Karang





BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1998, luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia yaitu seluas 255.300 km2. Dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke 2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 km2. Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies.
Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam keadaan sedang, 23,72 % dalam keadaan baik, dan 6,20 % dalam keadaan sangat baik.
Terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung antara lain sebagai habitat ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari, dan lain-lain. Sedangkan manfaat tidak langsung, antara lain sebagai penahan abrasi pantai, dan pemecah gelombang.
Eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, termasuk terumbu karang. Degradasi terumbu karang dapat ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia dan akibat alam.
Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain:
1. penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan/atau alat yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan lingkungannya;
2. penambangan dan pengambilan karang;
3. penangkapan yang berlebih;
4. pencemaran perairan;
5. kegiatan pembangunan di wilayah pesisir;
6. kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain:
1. pemanasan global;
2. bencana alam seperti angin taufan;
3. gempa tektonik;
4. banjir;
5. tsunami, serta fenomena alam lainnya.
Dalam rangka penyelamatan terumbu karang, berbagai usaha telah dilakukan baik secara lokal, regional maupun nasional. Secara nasional Pemerintah telah mengembangkan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka untuk memberikan pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam rangka pengelolaan sumber daya terumbu karang secara berkesinambungan, dipandang perlu disusun Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang.
1.2. Maksud dan Tujuan
Pedoman umum ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang.
Tujuan pedoman umum ini adalah:
1. mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan;
2. mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang;
3. mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif semua pihak;
4. melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal;
5. menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan.
1.3. Sasaran
Sasaran dari pedoman umum ini adalah :
1. meningkatnya kesadaran dan peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan terumbu karang secara lestari;
2. terlaksananya pendelegasian wewenang kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan terumbu karang;
3. terciptanya kerjasama antar stakeholder dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang;
4. berkurangnya laju degradasi terumbu karang;
5. terciptanya suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang potensi, bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada ekosistem terumbu karang;
6. terlaksananya pola pengelolaan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya terumbu karang.
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman umum ini meliputi pendahuluan, batasan peristilahan, kebijakan, strategi, dan program nasional pengelolaan terumbu karang, serta arahan pengelolaan terumbu karang.
BAB II
BATASAN PERISTILAHAN

Dalam pedoman umum ini yang dimaksud dengan :
1. Pengelolaan terumbu karang adalah u adalah upaya yang dilakukan untuk mengatur terumbu karang melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan atau pengawasan, evaluasi dan penegakan hukum.
2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai pengelola sumberdaya alam dan jasa lingkungannya yang didukung oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan dunia usaha.
3. Karang adalah kelompok hewan sesil bahari termasuk dalam ordo Hexacoralia, Filum Cnidaria, yang hidup membentuk koloni terdiri dari jutaan polip yang menghasilkan kapur, serta bersimbiosis mutualistik dengan zooxanthellae.

4. Terumbu Karang adalah struktur dalam laut dangkal yang tahan terhadap gempuran ombak sebagai hasil proses-proses sementasi dan konstruksi kerangka koral hermatipik, ganggang berkapur, dan organisasi yang mensekrasikan kapur.
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.
6. Degradasi adalah kerusakan, penurunan kualitas atau penurunan daya dukung lingkungan akibat kegiatan manusia atau alam.
7. Kebijakan adalah suatu pernyataan prinsip sebagai landasan pengaturan dalam pencapaian suatu sasaran.
8. Strategi adalah metode yang cerdik untuk mencapai tujuan, mencakup tindakan-tindakan yang langsung diarahkan untuk mencapai tujuan yang menyeluruh, dan biasanya mengacu pada rencana yang menyeluruh dan berjangka panjang.
9. Pemanfaatan adalah pemakaian organisme, ekosistem secara berkelanjutan sumberdaya terbaharukan pada laju yang tidak melampaui kemampuan memperbaharui dirinya.
10. Pemerintah adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.
11. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
12. Pemangku kepentingan (stakeholders) adalah individu atau kelompok atau unsur masyarakat yang mempunyai kepentingan dalam suatu wilayah atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu wilayah.

















BAB III
KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

Terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, dan padang lamun. Oleh karena itu, kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang harus memperhatikan dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan terpadu. Selain itu, kebijakan pengelolaan terumbu karang juga harus mempertimbangkan pelaksanaan desentralisasi.
Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang disusun berdasarkan prinsip-prinsip :
1. keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang;
2. pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal dan ekonomi nasional;
3. kepastian hukum melalui pelaksanaan peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang optimal;
4. pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan;
5. pendekatan pengelolaan secara kooperatif antara semua pihak terkait;
6. pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan;
7. pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang pengelolaan terumbu karang;
8. pengelolaan terumbu karang sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasi non pemerintah.
Kebijakan umum sebagaimana tersebut di atas, dijabarkan menjadi tujuh kebijakan operasional sebagai berikut :
Kebijakan 1.
Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyarakat yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan internasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Kebijakan 2.
Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan meningkatkan hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik biofisik dan kebutuhan pembangunan wilayah.
Kebijakan 3.
Menyusun rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
Kebijakan 4.
Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum.
Kebijakan 5.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan sosial budaya masyarakat setempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang dan lingkungan sekitar.
Kebijakan 6.
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama internasional.
Kebijakan 7.
Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.
BAB IV
STRATEGI DAN PROGRAM NASIONAL
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang, diperlukan adanya strategi yang merupakan penjabaran dari kebijakan nasional dan dipergunakan sebagai arah sasaran bagi penyusunan berbagai program dan implementasinya.
Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang, dijabarkan dalam 9 (sembilan) strategi dan 34 (tiga puluh empat) program, sebagai berikut :
Strategi 1.
Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada pengelolaan ekosistem terumbu karang.
Strategi 1 dijabarkan dalam 5 (lima) program sebagai berikut:
1. pengembangan mata pencaharian alternatif;
2. pengembangan teknologi alternatif ramah lingkungan;
3. peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat pesisir dan aparat dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya;
4. pengakuan hak dan pelimpahan tanggung jawab serta kepastian hukum pengelolaan ekosistem terumbu karang kepada masyarakat pesisir;
5. peningkatan peran serta lembaga non pemerintah dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir.
Strategi 2.
Mengurangi laju degradasi terumbu karang.
Strategi 2 dijabarkan dalam 6 (enam) program sebagai berikut:
1. pengembangan teknik-teknik pengelolaan spesifik yang sesuai dengan kondisi lokal;
2. penyusunan kriteria dan sistem penilaian yang sesuai untuk mengkaji kondisi terumbu karang dalam penyusunan dokumen AMDAL bagi proyek-proyek pembangunan yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi ekosistem terumbu karang;
3. peningkatan ketaatan sukarela (voluntary compliance) dalam pemanfaatan terumbu karang melalui penyusunan dan penyebarluasan tata cara yang patut;
4. pengembangan program-program konservasi terumbu karang yang diperlukan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir;
5. peningkatan efektivitas penegakan hukum terhadap berbagai kegiatan yang mengakibatkan degradasi ekosistem terumbu karang;
6. pengawasan dan pembatasan perdagangan sumberdaya terumbu karang yang bernilai komersial dan biota lainnya yang dilindungi.
Strategi 3.
Mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, pemanfaatan, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir.
Strategi 3 dijabarkan dalam 5 (lima) program sebagai berikut:

1. pengembangan sistem informasi dan pemetaan mengenai keberadaan, pemanfaatan, dan pengelolaan ekosistem terumbu karang;
2. pengembangan penelitian dan pengkajian ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan rehabilitasi, pemulihan dan pemanfaatan berkelanjutan melalui peran aktif lembaga penelitian dan perguruan tinggi;
3. pengklasifikasian dan pengelompokkan seluruh gugusan terumbu karang ke dalam beberapa jenis katagori pengelolaan;
4. pembuatan program percontohan untuk setiap jenis katagori pengelolaan;
5. perlindungan dan pelestarian gugusan terumbu karang yang memiliki nilai tinggi dari sudut pandang regional, nasional maupun internasional.
Strategi 4.
Merumuskan dan mengkoordinasikan program-program instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pihak swasta, dan masyarakat yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat.
Strategi 4 dijabarkan dalam 3 (tiga) program sebagai berikut:
1. pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang secara terpadu yang melibatkan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pihak swasta, perguruan tinggi, lembaga non pemerintah, dan masyarakat;
2. penyediaan bantuan teknis dan keuangan dalam rangka peningkatan kemampuan masyarakat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun rencana pengelolaan ekosistem terumbu karang;
3. penyiapan perangkat pemantauan, kontrol dan pengamatan lapangan (Monitoring, Controlling, & Survailance) serta mekanisme evaluasi terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Strategi 5.
Menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak-pihak pelaksana pengelola ekosistem terumbu karang.
Strategi 5 dijabarkan dalam 4 (empat) program sebagai berikut:
1. peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia di berbagai institusi melalui perekrutan, pelatihan, serta pendidikan formal dan informal;
2. penguatan kelembagaan di daerah dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang;
3. peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemerintah daerah dalam mengelola ekosistem terumbu karang;
4. pengaktualisasian tradisi musyawarah yang berorientasi pada penguatan komitmen masyarakat dalam mengelola ekosistem terumbu karang.
Strategi 6.
Mengembangkan, menjaga serta meningkatkan dukungan masyarakat luas dalam upaya-upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara nasional dengan meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai arti penting nilai ekonomis dan ekologis dari ekosistem terumbu karang.
Strategi 6 dijabarkan dalam 4 (empat) program sebagai berikut:
1. penyebarluasan informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang;
2. peningkatan partisipasi masyarakat luas dalam kegiatan yang terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang;
3. promosi dan penyebarluasan program pengelolaan terumbu karang kepada masyarakat luas;
4. penghimpunan dukungan politik dalam mempromosikan nilai penting pengelolaan terumbu karang berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi.
Strategi 7.
Menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan serta mendefinisikan kembali kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya pelestarian lingkungan ekosistem terumbu karang.
Strategi 7 dijabarkan dalam 2 (dua) program sebagai berikut:
1. penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang;
2. penyempurnaan dan pendefinisian kembali kriteria keberhasilan pembangunan wilayah yang mencakup beberapa indikator keberhasilan antara lain : efisiensi ekonomi, pemerataan hasil pembangunan, serta terpeliharanya fungsi lingkungan dan kelestarian sumberdaya.

Strategi 8.
Meningkatkan dan memperluas kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan.
Strategi dijabarkan dalam 2 (dua) program sebagai berikut:
1. pengupayaan bantuan teknis yang ramah lingkungan dan keuangan yang tidak mengikat dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan swasta kepada kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi di ekosistem terumbu karang dan sekitarnya;
2. peningkatan pelayanan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan swasta bagi penyediaan akses masyarakat akan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan, pasar, pengelolaan, dan informasi, yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan di ekosistem terumbu karang dan sekitarnya.
Strategi 9.
Meningkatkan dan mempertegas komitmen Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan masyarakat serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri dalam penyediaan dana untuk mengelola ekosistem terumbu karang.
Strategi 9 dijabarkan dalam 3 (tiga) program sebagai berikut:
1. penyediaan anggaran biaya pengelolaan ekosistem terumbu karang dalam APBN dan APBD serta dana-dana lain yang tidak mengikat;
2. pengupayaan sumber dana dari luar negeri yang sifatnya tidak mengikat;
3. penghimpunan dan pemanfaatan dana masyarakat untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.


BAB V
ARAHAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

Pengelolaan terumbu karang diarahkan pada terlaksananya fungsi-fungsi manajemen dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang.
5.1 Perencanaan Pengelolaan Terumbu Karang.
Berdasarkan kebijakan dan strategi serta program nasional pengelolaan terumbu karang yang telah diuraikan pada bab terdahulu, perencanaan pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan memperhatikan arahan sebagai berikut:
a. perencanaan pengelolaan terumbu karang disusun berdasarkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Good governance dalam pengelolaan terumbu karang adalah upaya pengelolaan yang didasarkan pada aspirasi masyarakat dengan cara meningkatkan kemampuan masyarakat agar mampu melakukan pengelolaan berbasis masyarakat demi tercapainya pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan;
b. perencanaan pengelolaan terumbu karang disusun dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam kerangka pengelolaan adaptif dan kolaboratif;
c. dalam rangka pengelolaan terumbu karang, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana strategis (renstra) pengelolaan terumbu karang berdasarkan kebijakan, strategi dan program nasional pengelolaan terumbu karang;
d. rencana strategis (renstra) pengelolaan terumbu karang disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah serta aspirasi para pemangku kepentingan, dan selanjutnya dijabarkan dalam bentuk rencana tahunan;
e. rencana strategis (renstra) pengelolaan terumbu karang memuat antara lain tujuan, pendekatan, proses penyusunan, isi, dan masa berlakunya rencana strategis;
f. perencanaan pengelolaan terumbu karang diarahkan untuk mendukung peningkatan taraf hidup nelayan setempat;
g. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun pola pemanfaatan terumbu karang secara lestari, dengan melibatkan partisipasi aktif para pemangku kepentingan.
5.2 Kelembagaan
a. Penataan kelembagaan pengelolaan terumbu karang dilakukan di berbagai jenjang, baik di Kabupaten/Kota, Provinsi, maupun Pusat yang bersifat lintas sektoral. Kelembagaan yang dibangun tersebut memiliki struktur organisasi, tugas dan fungsi, tujuan, sasaran, program/rencana kerja, administrasi, serta pendanaan dalam rangka pengelolaan terumbu karang;
b. Kelembagaan pengelolaan terumbu karang dibentuk melalui proses yang merupakan kombinasi dari pendekatan bottom up dan top down, dimana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan masyarakat mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan terumbu karang. Kelembagaan pengelolaan terumbu karang mengakomodasi semangat desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Dalam rangka pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan kebijakan, strategi dan program nasional pengelolaan terumbu karang.
d. Gubernur dapat membentuk kelembagaan pengelola terumbu karang lingkup Provinsi. Kelembagaan ini berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan terumbu karang lintas Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi yang bersangkutan, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan pengendalian, dan evaluasi.
e. Bupati/Walikota dapat membentuk kelembagaan pengelola terumbu karang lingkup Kabupaten/Kota. Kelembagaan ini berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan terumbu karang dalam wilayah Kabupaten/Kota, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, pengendalian, dan evaluasi.
5.3 Pengawasan dan Penegakan Hukum
a. Aparat Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat melakukan pengawasan, pemantauan, dan pengendalian terhadap pengelolaan terumbu karang;
b. Masyarakat dapat melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi mengenai terumbu karang dan berhak mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan perusakan terumbu karang yang menimbulkan kerugian;
c. Penegakan hukum dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mempertimbangkan kearifan lokal;
d. Penegakan hukum dilakukan oleh aparat yang berwenang baik aparat Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
5.4 Pendanaan
a. Dana pengelolaan terumbu karang dapat bersumber dari APBN, APBD, Pinjaman atau Hibah Luar Negeri/ PHLN, dan dana masyarakat;
b. Mekanisme pendanaan dilaksanakan berdasarkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yaitu terbuka, jujur, adil dan bertanggung jawab dengan berpihak kepada masyarakat;
c. Pendanaan program pengelolaan terumbu karang berdasarkan suatu analisis biaya dan manfaat (cost and benefit analysis).
5.5 Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan
a. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan terumbu karang bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan, mendeteksi adanya permasalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan dan keberhasilan kegiatan, serta berfungsi sebagai sistem kontrol;
b. Dalam pelaksanaan pengelolaan terumbu karang Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pemantauan dilaksanakan oleh pengawas dengan melibatkan masyarakat;
d. Pelaporan merupakan salah satu alat untuk melakukan pemantauan kegiatan, dan dilaksanakan secara periodik.












BAB VI
PENUTUP

Pedoman Umum ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 September 2004

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN




ROKHMIN DAHURI
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi




Narmoko Prasmadji

Penguatan Kelembagaan COREMAP II

Peranan terumbu karang di wilayah pesisir sangat penting dan berkaitan erat dengan ekosistem lainnya, yaitu: padang lamun dan mangrove. Terumbu karang secara sendiri maupun berasosiasi dengan ekosistem lainnya mempunyai peran penting dalam mendukung fungsi kehidupan berbagai biota laut, antara lain sebagai tempat memijah, pembesaran, tempat mencari makan berbagai biota laut dan pelindung abrasi, maupun fungsi pariwisata dan jasa lingkungan lainnya. Keberadaan terumbu karang semakin terancam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian besar kerusakan yang terjadi, disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia berupa penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, yaitu menggunakan bom maupun potassium serta berbagai peralatan lain yang merusak. Kerusakan yang terjadi diperparah dengan kegiatan penambangan karang untuk bahan bangunan maupun dijual untuk berbagai kepentingan.

Upaya mengurangi laju degradasi terumbu karang, terutama yang disebabkan oleh kegiatan manusia telah banyak dilakukan. Kegiatan berupa penyusunan kebiajkan, sosialisasi, upaya penyadaran masyarakat, pendidikan dan pelatihan serta berbagai kegiatan lain yang bermuara kepada penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia.

Penguatan kelembagaan dalam Konteks program COREMAP II ditujukan untuk Memperkuat kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan terumbu karang di tingkat Nasional dan Daerah, hal ini sekaligus berupaya meningkatkan respon lembaga pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pesisir, demi mendukung pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi laut untuk menunjang perikanan berkelanjutan.

Kelembagaan pengelolaan terumbu karang di tingkat nasional telah terbentuk lembaga pengelola pusat (PMO/NCU) dan NPIU LIPI dan NPIU PHKA. Kelembagaan Pengelola COREMAP II disyahkan oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, dan diperbaharui setiap tahunnya. Di tingkat propinsi dibentuk Regional Coordinating Unit (RCU) di 5 propinsi, Program Implementing Unit (PIU) di 8 kabupaten/kota serta Project Management Unit (PMU) di 7 kabupaten. Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Coastal Community Empowerment Board [CCEB]) juga dibentuk di masing-masing kabupaten yang berfungsi sebagai tim pengarah dan sekaligus dewan yang menggerakkan dan memberdayakan masyarakat peisisir di wilayah tersebut. Saat ini PMO/NCU dibantu oleh 2 (dua) Project Management Consultant, Procurement Consultant, Financial Management Consultant dan 3 (tiga) Junior Consultant, 5 (Lima) Assistant Consultant serta 4 (empat) Individual konsultan. Selain itu, dalam rangka memperkuat kelembagaan pengelolaan didaerah juga dibantu oleh Project Management Consultant dan Regional Advisor.

Guna mendukung monitoring keberhasilan pelaksanaan program, dibentuk unit monev yang bertugas untuk melakukan monitoring, evaluasi dan feedback program coremap pusat dan daerah. Koordinasi dan pembinaan serta Pertemuan rutin merupakan agenda tetap guna memperkuat kapasitas pengelolaan.

Menyoal mengenai kesehatan terumbu karang, tidak dapat dilepaskan dari kegiatan monitoring secara periodik terhadap kondisi ekologis terumbu karang. Upaya melestarikan, memanfaatkan dan merehabilitasi ekosistem terumbu karang terus ditingkatkan dengan tujuan hamparan karang hidup (live coral cover) setiap tahunnya meningkat sebesar 2 - 5 (dua sampai lima) persen. Selain peningkatan hamparan karang hidup, diharapkan pula mampu mendorong peningkatan rata-rata tangkapan (catch-per-unit-effort / CPUE) untuk spesies indikator sebesar 35 (tiga puluh lima) persen, dengan teknik dan pola penangkapan secara berkelanjutan, sedangkan untuk spesies indikator ukuran-sedang diharapkan naik sebesar 10 (sepuluh) persen sebelum program tahap dua ini berakhir.

Upaya melestarikan, memanfaatkan dan merehabilitasi ekosistem terumbu karang tersebut merupakan bagian kegiatan yang dilakukan oleh sub-bidang Coral Reef Information and Training Center (CRITC). CRITC merupakan sub-komponen penguatan kelembagaan yang digawangi oleh NPIU LIPI. Kegiatan yang dilakukan antara lain melaksanaan baseline kesehatan terumbu karang (indikator dikumpulkan oleh tim pemantau di daerah) setiap 6 bulan sekali. Selanjutnya, masyarakat di wilayah COREMAP II juga dilatih untuk memantau kesehatan terumbu karang dan perikanan. Hasil-hasil pemantauan kesehatan terumbu karang, perikanan dan sosial-ekonomi secara reguler disebarkan dan disosialisasikan ke pengelola program di daerah sampai ke masyarakat desa.

Jejaring CRITC baik tingkat nasional maupun daerah telah terbentuk dan telah menjalankan fungsinya dengan baik. Rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan hingga saat ini telah dilakukan baseline surveys di wilayah Indonesia Timur dan di wilayah Indonesia Barat telah diselesaikan baseline ekologi maupun sosial ekonomi untuk wilayah Nias, Tapanuli Tengah, Kepulauan Mentawai, Natuna, Batam, Lingga, Nias Selatan, dan Bintan. Kegiatan pelatihan berupa Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat (CREEL) telah dimulai pelaksanaannya termasuk monitoring kesehatan karang. Riset agenda daerah, workshop pengembangan jaringan CRITICs, pelatihan CREEL, pelatihan sistem informasi, penulisan popular, penyusunan manual BME, pelatihan MPTK, Sistem Informasi Geografi dan pelatihan database maupun web juga telah selesai dilaksanakan di beberapa daerah.

Terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, dan padang lamun. Karenanya, kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya undang-undang nomor 27 tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. Kaitannya dengan desentralisasi, undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Sedangkan Payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, pada tahun 2007 telah di upayakan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai organik dari UU 31 tahun 2004. Melalui rPP ini diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan termasuk terumbu karang dapat terwadahi.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang, yang lahir sebelum UU 31/2004 tentang perikanan. Saat ini menjadi salah satu Kebijakan dan Strategi Nasional dalam Pengelolaan Terumbu Karang. Kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasi non pemerintah.

Kebijakan umum yang dijabarkan dalam 7 (tujuh) kebijakan operasional, 9 (sembilan) strategi dan 34 (tiga puluh empat) program, dijadikan salah satu acuan bagi daerah dalam menyusun Rencana Strategis maupun Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu karang. Pencapaian saat ini, 3 (tiga) renstra provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau) sudah tersusun. Ditingkat kabupaten, telah disyahkan Renstra Pengelolaan Terumbu Karang untuk Kabupaten Tapanuli Tengah dan Nias Selatan. Menjadi sebuah pencapaian yang luar biasa, ketika sebanyak 8 provinsi dan 15 kabupaten mempunyai renstra pengelolaan terumbu karang yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam rencana strategis pembangunan daerah.

Kebijakan di tingkat daerah semakin kokoh dengan ditetapkannya Peraturan Daerah mengenai pengelolaan terumbu karang yang ditargetkan selesai pada akhir program ini. Selain pedoman umum pengelolaan terumbu karang, beberapa Draft kebijakan seperti Strategi Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut, Strategi Jejaring Kawasan Konservasi Laut, serta Strategi Perdagangan Ikan Karang Hidup dan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan juga sedang di garap melalui dukungan Program COREMAP II. Lebih lanjut, sebagai upaya penguatan kebijakan dan kelembagaan di daerah, secara terprogram dilakukan kegiatan asistensi, koordinasi dan pembinaan kelembagaan di daerah. Selain itu disusun pula pedoman teknis yang dijadikan acuan bagi daerah dalam mengembangkan rencana strategis dan peraturan daerah.

Peraturan daerah tentang pengelolaan terumbu karang yang disusun oleh masing-masing daerah pada akhirnya dijadikan payung kebijakan bagi daerah dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara terpadu, termasuk upaya menyisihkan kawasan-kawasan dengan sumberdaya terbaik sebagai Kawasan Konservasi Laut. Kawasan konservasi laut (KKL) adalah Kawasan pesisir dan lautan tertentu, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya di bawahnya, dilindungi secara hukum atau cara-cara lain yang efektif, baik sebagian maupun seluruh lingkungan alamnya. (Dermawan.,2007 modifikasi IUCN dan Komnasko Laut., 2005).

Prinsip prinsip yang digunakan dalam pengembangan sistem pengelolaan kawasan konservasi laut di daerah adalah melalui keterpaduan, partisipasi, multi stakeholders, dengan fokus pada pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan. Adapun kriteria yang digunakan untuk menetapkan kawasan konservasi perairan, antara lain adalah: Memiliki keterwakilan ekosistem; Memiliki Kemampuan daya pulih; Memiliki jenis ikan langka, endemik dan/atau terancam punah; Memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi; Merupakan wilayah ruaya bagi biota perairan; Mengandung resiko pengulangan; Kondisi biota dan fisik lingkungan perairannya masih alami; Mengandung aspek sosial, ekonomi regional dan pragmatik serta potensi biofisik.

Kawasan konservasi laut yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan perikanan: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran (body size) dari stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan recruit hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan konservasi laut. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah Kawasan Konservasi Laut dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (Gell & Robert, 2002; PISCO, 2002). Peran Kawasan Konservasi Laut adalah melalui: (1) ekspor telur dan larva ke luar wilayah KKL yang menjadi wilayah Fishing Ground nelayan; (2) kelompok recruit; (3) penambahan stok yang siap ambil di dalam wilayah penangkapan. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat adalah peningkatan hasil tangkapan nelayan di luar kawasan konservasi setelah beberapa saat setelah dilakukan penerapan KKL secara konsisten.

Dalam rangka pengembangan kawasan konservasi perairan, pemerintah mentargetkan 10 juta hektar kawasan konservasi laut pada tahun 2010 dan 20 juta hektar telah ditunjuk atau ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 2020. Sampai awal tahun 2007, Indonesia telah memiliki 7 juta lebih kawasan konservasi laut. Melalui program COREMAP II telah mendorong percepatan pencapaian target kawasan konservasi laut daerah. Hampir 1 juta hektar kawasan konservasi, sampai saat ini telah ditunjuk dengan Keputusan Bupati/walikota, antara lain Kawasan konservasi Laut di Kepulauan Mentawai, Kota Batam dan Raja Ampat. Selanjutnya, lebih dari 900.000 hektar kawasan konservasi sedang dalam proses identifikasi lokasi, yakni di antara 12 kabupaten lokasi COREMAP II lainnya.

Kawasan konservasi laut yang ada, tidak berdiri sendiri tetapi merupakan merupakan rangkain jejaring kawasan konservasi yang terkait antara satu dengan lainnya. Jejaring kawasan konservasi laut dipilah secara ekologis/ekosistem maupun secara manajemen. Pengembangan Jejaring secara ekosistem dikelompokkan berdasarkan kriteria fisik berupa Tipe Ekosistem; Gangguan Alam dan Gangguan Aktivitas Kegiatan Manusia. Sedangkan kriteria biologis antara lain: Genetis (Jenis Biota yang Dilindungi, Rantai Makanan, Pola Berkembang Biak, dan Pola Migrasi) dan Perikanan (Pola sebaran Pemijahan Ikan, Pola Migrasi Ikan dan Pola Sebaran Penangkapan).

Pengembangan Jejaring secara manajemen dikelompokkan berdasarkan 3 pilar utama pengelolaan, yaitu: (1) Stakeholders yang terlibat. Keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan bersama kawasan konservasi laut sangat penting dalam mendukung terlaksananya pengelolaan yang baik. Masing-masing stakeholders mempunyai peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. (2) Bentuk Kelembagaan. Dalam upaya pengelolaan kawasankonservasi laut diperlukan suatu lembaga/badan/dinas pengelola yang akan menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan, penyelesaian permasalahan dan penyampaian informasi. Selain itu tugasnya adalah melibatkan berbagai stakeholders lain dalam pengelolaan kawasan konservasi laut. (3) Pendanaan. berbagai mekanisme pendanaan dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kategori berdasarkan kesamaan ciri pendekatan yang mendasarinya, dan sesuai dengan prinsip kepraktisan penerapannya di Indonesia, seperti : Orientasi pada donor, Orientasi pada Pemerintah, Orientasi pada Pasar, Dana Lingkungan, Orientasi Komunikasi Publik atau Panggilan Nurani, Orientasi Usaha, Peraturan Pemerintah, Orientasi pada usaha Swasta.
Pengelolaan kawsan konservasi tidak dapat dilakukan secara sendiri, melainkan harus dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai stakeholder, termasuk masyarakat. ... bersambung...